Oleh : Ika Setya Yuni
Di era modern ini, banyak negara
di berbagai belahan dunia mengalami depresi ekonomi sejak tahun 2008. Terutama
negara – negara maju di benua eropa, salah satunya yang masih “ segar ” ialah
Yunani, Italia dan Spanyol yang mengalami kekisruhan cukup parah sehingga membuat
negara merugi dan ketidakstabilan ekonomi. Akibatnya menghasilkan pengangguran
yang cukup tinggi. Keadaaan seperti itu juga melanda Perancis, Jerman bahkan
Amerika Serikat, namun terasa kurang rasanya kalau membicarakan negara dunia
pertama tanpa mengikutsertakan negara dunia ketiga atau negara berkembang
seperti Filipina, Meksiko, Ukraina, Malaysia, Brunei Darusallam, Brazil,
Argentina dan tentunya, Indonesia. Sebagai pemuda penerus bangsa kurang pantas
rasanya kalo tidak membubuhkan analisis mengenai permasalahan Indonesia,
khususnya sektor ekonomi.
Awal mula ditengarai dengan
penandatanganan AFTA ( Asean Free Trade Area ) dan APEC ( Asean Pasific Economy
Corporation ) Indonesia masuk dalam jajaran negara di Asia yang mengikuti
sistem perdagangan bebas yaitu ditiadakannya sekat perdagangan yang membebaskan
negara – negara anggota leluasa mengekspor tanpa adanya campur tangan
pemerintah. Mereka bebas masuk dan menjelajah sampai lorong – lorong lini
terkecil dalam masyarakat. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat kelabakan
tak siap mental serta modal, hingga akhirnya banyak pedagang lokal yang
harusnya potensial justru gulung tikar. Alhasil maraklah produk – produk luar
negeri yang menjamur di pasaran, mulai dari produk dapur, stylist hingga kecantikan.
Namun pemerintah seolah kurang tanggap dengan hal itu dan berkelit dengan
alasan perekonomian Indonesia tumbuh 6% selama kurun waktu 4 tahun terakhir dan
diramalkan lambat laun akan mengungguli perekonomian China. Akankah itu
terjadi? Sepertinya perlu perbaikan dalam banyak hal untuk mewujudkannya.
Ditengah krisis sosial yang melanda Indonesia saat ini jelas itu tidak mudah,
namun bukan berarti tak ada peluang asalkan pemerintah, pemilik modal serta
masyarakat konsisten terhadap tujuannya.
Menilik kembali permasalahan yang
tak kunjung usai, berawal dari sejarah ketika tahun 1945-1950 pasca
kemerdekaan, kondisi ekonomi keuangan masa itu amat buruk. Hal itu disebabkan
oleh laju inflasi yang sangat tinggi, juga beredarnya mata uang yang lebih dari
satu. Saat itu pemerintah menetapkan tiga mata uang yang berlaku di Indonesia
yaitu De Javasche Bank, mata uang Hindia – Belanda dan mata uang Jepang. Kedua
tahun 1950 – 1957 yang dikenal dengan masa liberal dimana seluruh kegiatan
politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip liberal. Merujuk pada
mahzab – mahzab klasik Laiszez Faire Laissez, seluruh kegiatan perekonomian
diserahkan kepada pasar. Padahal kala itu rakyat pribumi masih tertinggal jauh
dibanding non pribumi, terutama peranakan Belanda juga pedagang – pedagang dari
China. Kondisi tersebut kian memperparah Indonesia. Selanjutnya di masa 1961 –
1967, banyak sekali pergantian kabinet Indonesia, sehingga mengakibatkan sistem
sosial, politik dan ekonomi berubah – ubah yang berujung pada permasalahan –
permasalahan baru. Tembakan terparah bagi Indonesia ialah tahun 1997, dimana
krisis moneter di Indonesia meyebabkan kisruh berkepanjangan, pabrik – pabrik
bangkrut, pengusaha gulung tikar, jumlah pengangguran membludak, rupiah anjlok,
angka kriminalitas meningkat dsb. Alhasil kebijakan yang selama ini dicanangkan
dan dilaksanakan hanya menambah permasalahan – permasalahan baru yang kerap
kali membuat RI compang – camping dilanda krisis. Lalu bagaimana solusi yang
ditawarkan untuk perbaikan Indonesia?
Pertama disini saya akan
menyoroti masalah paling pokok, belajar dari pengalaman 1997 – 1998. Adanya
konsistensi sistem pajak untuk berbagai kaum atas, menengah dan kebawah. Selama
ini kita tahu, pajak sebagai motor penggerak perbaikan infrastruktur negara mengalami
kemandekan dikarenakan mangkirnya para pembayar pajak dengan berbagai alasan.
Belum lagi kelonggaran – kelonggaran yang diterima oleh pengusaha membuat
rutinitas pajak seakan berhenti begitu saja. Kedua, diterapkannya kemandirian
pengambilan keputusan secara ekonomi. Semenjak krisis 1998, Indonesia sangat
bergantung pada dana IMF ( International Monetery Fund ). Segala kebijakan dan
keputusan Indonesia kala itu juga berdasarkan perintah IMF. Akibatnya sampai
sekarang Indonesia masih harus terus membayar hutang pada IMF. Seperti
kehilangan jati dirinya, Indonesia terus menuruti permintaan IMF. Sebenarnya
situasi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi yang dialami negara – negara Asia
Timur lainnya, Jepang, Korea Selatan, China dan Taiwan. Memang dalam hal
diplomatis mereka sangat intens berhubungan dengan negara – negara barat, namun
untuk menentukan kebijakan ekonomi negaranya mereka sangat mandiri.
Dahulu sekitar tahun 1967 pendapatan perkapita negara – negara di Asia
hampir semua sama. Indonesia secara sosial – ekonomi sejajar dengan GNP
Malaysia, Thailand, Taiwan dan China, berkisar kurang lebih USS 100 per kapita.
Setelah 40 tahun perkembangan perkapita negara – negara tersebut sangat
mencolok, Indonesia USS 1.100, Malaysia USS 4.520, Korea Selatan USS 14.000 ,
Thailand USS 2.490, Taiwan USS 14.590, China USS 1500. Ditarik kesimpulan bahwa
meskipun saat itu Indonesia memiliki banyak
lulusan Berkeley ( Universitas terkemuka di AS ) namun mereka tidak
mampu mengubah system ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Padahal
untuk meningkatkan ekonominya Indonesia memiliki SDA yang melimpah, namun
karena kurangnya kepercayaan diri pemerintah saat itu, Indonesia hanya menjual
SDA kepada asing dan mengeksploitasinya secara berlebihan tanpa mau mengolahnya
sendiri. Kemudian secara terus – menerus untuk melakukan pembangunan
infrastruktur Indonesia menggunakan utang luar negeri sebagai penopang utama. Kondisi
itu lain halnya dengan proses kemajuan negara - negara Asia Timur lainnya.
Mereka menggunakan strategi industrialisasi, ekspor dan peningkatan kualitas
produktivitas tenaga kerja dan daya saing nasional. Alhasil meskipun
membutuhkan perjuangan panjang, mereka mampu membangkitkan ekonomi mereka dan
kini secara perlaha mulai menggeser posisi Amerika sebagai negara adidaya. Hal
seperti itu harusnya juga perlu dicontoh oleh Indonesia, jangan lagi bergantung
pada utang luar negeri ataupun belas kasihan dari IMF. Mulailah berkembang
mandiri dengan memperbaiki sektor mikro serta meningkatkan produktivitas
tenanga kerja. Ditengah populasi penduduk yang luar biasa melimpah, tidak sulit
bagi Indonesia untuk mencari tenaga kerja dan tentunya juga harus dibekali
pembinaan dan ekstra pelatihan kewirausahaan, pengembangan diri serta
pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Dari situlah diharapkan adanya spesialisasi
pembagian kerja yang secara efisien mampu mengurangi deru pengangguran dan
secara perlahan Indonesia mampu menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan
ekonomi paling baik di dunia.
0 komentar:
Posting Komentar