Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 15 Februari 2014

OPINI

Oleh : Titin Nurjanah

Atas nama mahasiswa
Tridarma perguruan tinggi negeri itu salah perbedaan mendasar antara siswa dan mahasiswa. Siswa hanya bertanggung jawab pada satu hal sedangkan mahasiswa terdapat penelitian dan pengabdian di dalamnya yang lipatan kali lebih besar tanggungjawabnya.  Ketiga kompunen ini melakat dalam diri mahasiswa disadari atau tidak stiap mahasiswa akan melewati taham demi tahap tridarma perguruan tinggi.
Pendidikan sebagai seorang mahasiswa sudah terlihat dengan jelas, kuliah dengan perhitungan SKS tidak dikatan mahsiswa bila kita tidak berada didalam kelas belajar sesuai dengan bidang yang kita pilih dan kita pelajari. Syarat mahasiswa bisa melepaskan ststusnya dan mendapat gelar adalah yang paling dasar adalah memenuhi SKS minimal yang telah ditentukan walau ada beberapa persyaratan lainnya missalnya Skripsi, TOFL KKN dan lainnya. Pendidikan mahasiswa ini lebih spesifik dibandingkan dengan siswa. Mahasiswa harus menguasai satu bidang tertentu sehingga seharusnya lulus harus memeliki kemampuan di satu bidang yang telah dia pelajari. Sering orang mengatakan bahwa pendidikan dapat diukur dengan IPK siapa yang memiliki IPK tinggi maka dia bisa dikatakan sukses dengan pendidikannya.  Benar,  tidak salah dengan pernyataan itu karena salah satu ukuran hitam diatas putih  untuk mengetahui suskses tidaknya mahasiswa dalam pendidikannya adalah dengan IPK namun ada ukuran yang lain misalnya pemahaman yang lebih dari sekedar IPK bisa juga yang menjadi tolak ukur adalah menang dalam berbagai lomba yang telah diikutinya.
Tridarma yang kedua adalah penelitian, wujud dari penelitian adalah berbagai bidang PKM, skripsi  atau penelitian-penelitian lain. Standart minimal dari penelitian adalah sripsi semua dari mahasiswa harus melalui tahap ini bila ingin mendapatkan toga kelulusan.  Secara umum  Substandi dari penelitian itu sendiri adalah memberi gambaran dan mempermudah. Melihat realitas dibalik realitas itu sendiri biasanya ini dilakukan oleh peneliti-peneliti sosial sehingga kita mengerti apa yang dibutuhkan apa yang diperlukan dan bagaimana seharusnya yang kita lakukan setelah melakukan penelitian tersebut apa pelajaran berharaga yang kita dapatkan. Sedangkan penelitian-penelitian dalam bidang Sains tujuan utamanya adalah memepermudah kegiatan manusia. Bagaimana seorang calon dokter bisa menemukan inovasi baru untuk mengobati orang yang sedang sakit.
Pengabidian masyarakat adalah satu pilar dari tridarma perguruan tiggi negeri. Bukannya tidak menyediakan space untuk ini, dalam perjalannan sampai menjadi sarjana mahasiswa terdapat suatu proses tahap dimana kita harus melakukan KKN. Dengna KKN inilah kita selama hampir sebulan terjun dalam masyarakat  untuk mengambdi dalam masyarakat. Mahasiswa belajar mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat.
Dalam kuliah selama 4 tahun sebenarnya sdah terjawab tridarma perguruan tinggi tersebut. Masalahnya apakah hanya dengan itu yang dapat kita lakukan. Mahasiswa  yang mendapat status sebagai agen perubahan dan iron stoge seharusnya bisa lebih dari itu.
Pendidikan kita dapat mengembangkan tidak hanya melalui bangku kuliah saja namun dengan berbagai pelatihan dan pengembangan diri lainnya, misalnya les, ikt seminar , dan bagaimana menerapkan pendidikan dalam realitas sosial, mempelajari bidang ilmu yang tidak hanya teks book saja tetapi dengan memahaminya dengan kaca mata realiatas yang sebenarya.
Penelitian yang kita lakukan seharusnya tidak menunggu skripsi terlebih dahulu tetapi dapat kita wujudkan melalui PKM, dapat kita wujudkan melalui lomba untuk mengasah kemampuan kita dan utuk mempersiapkan ketika kita membuat skripsi suatu saat nanti ketika akan lulus. Berkontriusi lebih dalam bidang penelitian. Sebagai kaum intektual yang menerapkan ilmu yang dia peroleh dapat berupa penelitian.
Sebagai mahasiswa dalam mengabdi pada masyarakata kita dapat lakukan kapan  saja tidak harus menunggu adanya KKN dulu. Banya organisasi dalam amaupun luar kampus bergerak dalam bidang pengabdian masyarakan atau mahasiswa juga mewujudkan pengabdiannya sesuai dengan kemampuannya dan dengan caranya sendiri yang pasti berbeda dengan yang lainnya. Rasanya malu bila kita membuka mata dan melihat beberapa orang membagi hidupnya untuk membuang sampah demi saudaranya agar tidak terjadi kebanjiran, beberapa orang rela berjalan menyapu jalan untuk menyapu paku yang sengaja ditebar. Demi saudaranya dia rela berjalan memungut paku agar tidak bocor ban saudara kita atau bahkan ban kita. Beberapa orang menyisishkan uang untuk saudaranya demi saudaranya yang kelaparan. Beberapa orang rela menyisihkan waktu mereka untuk mengajar anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan.
Ayo mahasiswa tunjukan kontribusi penuhmu sebagai mahasiswa, jangan sampai nanti lulus hanya memliki kemampuan standart saja tetapi tidak memiliki ilmu yang lebih, bergerak dan terus bergerak hingga kau lelah dan tidak dapat bergerak, hingga kau tidak mau dan tidak mampu untuk berhenti bergerak seperti darahmu yang mengalir.

Minggu, 09 Februari 2014

Mahasiswa : Organisasikan Komunitasmu, Jangan Memilih!

Oleh : Ahmad Finchy A.

Dalam demokrasi, harus ada yang menang dan kalah—Hillary Clinton
Tulisan ini berjudul sama dengan tulisan salah seorang teman yang digunakan untuk Propaganda pada Pemilu 2009 silam1. Bukan bermaksud menjiplak, kami hanya ingin mengadopsinya kedalam ranah yang lebih kecil yaitu mahasiswa. Tujuan dari pembicaraan singkat ini adalah untuk meyakinkan anda sekalian untuk lebih peduli terhadap kampus kita dan untuk menyadarkan teman-teman kita yang sedang tersesat2.

Dewasa ini, Demokrasi sangat marak sekali di kalangan mahasiswa, banyak hal yang kemudian disangkut pautkan dengan Demokrasi, mulai dari ranah diskusi, analisis isu/fenomena, menyematkanya untuk sebutan kampus, melabeli kelompok atau organisasi, sampai pada hal yang selalu diklaim dan digembar-gemborkan sebagai ‘Pesta Demokrasi’3. Lalu kenapa kita tidak merasa ada sesuatu yang menggembirakan, jika demokrasi adalah solusi dari segala masalah? Kenyataanya di kampuspun masih kerap terjadi kekerasan Ospek, saling boikot antar kelompok, perebutan kekuasaan, bahkan sampai saling berebut kader organisasi. Lalu, ada yang salah dengan ‘demokrasi’ kita? Apakah ada alternatif yang lebih memungkinkan?

Siapapun bisa berada di BEM maupun BLM
Adalah suatu kebohongan besar apabila ingin menjadi pengurus BEM atau BLM harus menjadi kader di ‘salah satu’ Organisasi terlebih dahulu, harus mengikuti sistem pemilihan dan harus punya suara terbanyak. Semua orang punya hak yang sama, Siapapun sebenarnya berhak untuk berpartisipasi dalam menjalankan sistem itu. Posisi-posisi di dalamnya haruslah dibagi secara adil di beberapa golongan agar bisa berjalan sebagai mana mestinya.

Sistem kita sangatlah tidak demokratis, kita semua sudah tahu susunan struktural di BEM dan BLM disusun dengan proporsi yang secara absurd sangatlah tidak adil. Hanyalah golongan ‘mereka’ saja yang ada disitu. Kalau begitu masih bisa berjalankah fungsi check and Balances di BLM? Masih pantaskah disebut Badan Eksekutif Mahasiswa? mulai sekarang sebut mereka Badan EKSKLUSIF Mahasiswa.

“Lihat, Kotak Suara—Demokrasi? Atau Pseudo Democracy?”
Apabila demokrasi adalah sesuatu yang berharga di mana telah banyak yang berjuang untuknya, maka kotak suara adalah sebuah pereduksian makna atas demokrasi itu sendiri, seseorang cukup memasukkan pilihan suaranya pada sebuah kotak, kemudian kembali pada aktivitasnya, tanpa sadar mereka telah dicurangi, bahwa sistim kotak suara sangat mudah sekali untuk dimanipulasi. Semuanya sudah di desain dari awal hingga akhir.

Dengan sistem Partai yang sebenarnya dibuat sebagai dalih untuk menutupi kecurangan, belum lagi pelibatan Partai MaBa (Mahasiswa Baru) hasil dari pengkaderan salah satu Organ Ekstra, alasanya pasti sangat klise untuk proses belajar. Padahal itu adalah suara terbesar yang bisa dengan mudah dimanfaatkan. Harusnya mereka masih baru belum pantas ikut dalam permainan karena mereka rentan dimanfaatkan.

Kampus yang disebut sebut sebagai miniatur negara banyak mengadopsi tentang Undang Undang dan segala peraturan yang ada di sistem NKRI. Diharapkan dengan adanya UU ini yang disahkan oleh dewan legislatif mahasiswa tidak ada kecurangan kecurangan dalam proses Pesta Demokrasi kampus dan menghasilkan pemimpin yang layak yang nantinya. Tetapi apa daya ketika suatu kelompok yang berkepentingan ingin menjadi penguasa dengan mengindahkan azas azas demokrasi, Semua sudah disiapkan dengan rapi dengan mengatur undang undang yang agar orang yang berkepentingan disini bisa kembali di kursi hangat ketua BEM dan BLM. Banyak kecacatan yang ditemukan dalam proses pengesahan Undang Undang baik dalam perihal pembentukan KPU sampai proses verifikasi bakal calon4. Dan sekali lagi, kita semua tahu itu, semua hasil dari kotak suara itu sangat tidak masuk akal dan semuanya sudah dipersiapkan. Inilah kampus kita, miniatur dari negara, jika mahasiswanya aja udah berbuat hal macam ini jangan salahkan kalau nanti negara kita juga ikut rusak.

Sistem kotak suara bukanlah sistem yang demokratis, karena tetap suara terbanyaklah yang menang, Kita menerima kebenaran secara mutlak bahwa kepentingan mayoritas lebih penting karena kita tidak pernah percaya bahwa hal tersebut akan mengancam kepentingan kita. Dalam hal ini mungkin konsensus bisa menjadi sebuah alternatif, Demokrasi konsensus tidak menuntut agar seseorang menerima kekuatan orang lain atas hidupnya, walaupun hal ini juga bukan berarti bahwa tiap orang tidak membutuhkan orang lain, walaupun dalam soalan efisiensi, hal seperti ini amatlah lamban, tetapi dalam segi kebebasan dan itikad baik, hal tersebut akan mendapat poin yang sangat tinggi. Demokrasi konsensus tidak memaksa orang untuk mengikuti pemimpin ataupun standarisasi nilai, melainkan membiarkan orang lain untuk memiliki tujuannya dan cara pencapaiannya sendiri5.

Kekerasan Ospek adalah Efek Rezim, maka janganlah Memilih!
"Masih terlalu banyak mahasiswa bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, menindas kalau
berkuasa, mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari SMA, Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi" (Soe Hok Gie)

Kenapa kekerasan pada ospek terus terjadi? Kenapa Ospek yang harusnya ‘Orientasi’ berubah menjadi ‘Ajang Senioritas’? Salah satunya adalah karena yang berkuasa masih tetap dari golongan yang sama, ini adalah efek berantai. Menurut filsuf John Dewey, sekarang ini, pendidikan sedang diancam oleh kekuatan besar yang salah satunya adalah kekuatan dari rezim-rezim otoriter (authoritarian regimes) yang ingin menciptakan manusia-manusia yang tunduk dan patuh (docile human) pada ideologi yang ada. Ospek berbasis kekerasan ini merupakan efek smping dari terlalu dominanya suatu ideologi yang memaksakan ideologi mereka yang paling benar, budaya kekerasan yang terus direproduksi, bersikap tidak Toleran dan juga Arogan. Karena budaya yang diturunkan sama, budaya ospek yang dulu pun tetap dilanggengkan hingga saat ini. Kalau yang berkuasa masih tetap sama dikuasai oleh satu golongan tertentu, jangan harap hal itu akan berakhir. Dengan ikut berpartisipasi dan memilih mereka maka anda juga ikut melanggengkan penindasan di kampus. Oleh karena itu, Keputusan untuk tidak memilih sangat tepat, karena keputusan untuk tidak memilih adalah termasuk suatu hal yang sangat Demokratis.

Mahasiswa yang menjadi Pengkhianat Mahasiswa
Masih ingatkah kalian dengan ‘Tri Dharma Perguruan Tinggi’?6 kenapa hal itu selalu diajarkan pada Mahasiswa Baru? Karena itulah yang menjadi tujuan, itulah jati diri kita. Kita diharapan untuk menjadi mahasiswa yang bisa lebih termotivasi dan sadar bahwa betapa pentingnya peranan kita di masyarakat, seperti dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Namun lihat keadaan sekarang, tidak satupun dari Tri Dharma yang terlaksana. Mereka lupa pada tujuan utama mahasiswa yang seharusnya mengisi ruang-ruang politis yang lebih berorientasi pada masyarakat, bukanya malah menceburkan diri pada ruang politik semu perebutan kekuasaan di kampus.

Tidak semua mahasiswa dapat menerapkan demokrasi secara substansial, mereka justru malah terjebak dalam makna simbolik semata dan menciptakan pseudo democracy (demokrasi semu). poin penting mengapa demokrasi diajukan oleh Robert Dahl (2001) bahwa demokrasi untuk menghindari tirani yang mengusung rezim kediktatoran yang dominatif. Namun potrem buram tirani tersaji dalam praktik-praktik politik kampus yang menggunakan embel-embel demokrasi. Sebagian mahasiswa larut dalam pergulatan politik kampus dengan cara-cara tirani yang anti-demokrasi. semua dilakukan hanya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan di organisasi intra kampus. Kampus disulap menjadi lahan pertarungan kepentingan kekuasaan tanpa mengindahkan nilai-nilai substansial demokrasi. Demokrasi hanya didengungkan oleh mahasiswa diluar kampus ,namun didalam kampus nyanyian euphoria tirani semakin nyaring terdengar. Alunan melodi tirani berjalan dengan perilaku politik yang mengacu pada nafsu kekuasaan belaka. Mahasiswa sebagai agen demokrasi justru kembali menghidupkan tirani di kampus  dan membunuh demokrasi di kampus. Pembunuhan demokrasi dilakukan atas kepentingan kelompoknya dengan melakukan penindasan lewat pembatasan kesempatan politik atau permainan licik politik kampus. Logika persamaan yang menjadi spirit demokrasi terkikis oleh nafsu mencapai kekuasaan politik kampus. Dalam hal ini diam melihat tirani mahasiswa atas mahasiswa adalah merupakan penghianatan3.

Marilah sebagai mahasiswa yang sadar akan pentingnya peran mahasiswa di masyarakat, kita perlu mengembalikan tujuan mahasiswa yang harusnya memiliki manfaat nyata bagi masyarakat secara luas. Hidup Mahasiswa!!! Bangkitlah Kalian Kaum Intelektual !!!



Catatan :
  1. Katalis, “Organisasikan Komunitasmu, Jangan Memilih”. 2009
  2. Sangat cocok dengan keadaan mahasiswa sekarang yang semakin melenceng jauh dari jati dirinya.
  3. Istilah Pesta Demokrasi sering digunakan mahasiswa pada saat Pemilihan BEM dan BLM di kampus.
  4. Achmad, KOMAR Zine Edisi Februari 2013 “Pencideraan Demokrasi”. 2013
  5. Metode Konsensus biasa digunakan kelompok Anti-Otoritarian dalam mengambil suatu keputusan karena sifatnya yang lebih egaliter.
  6. Tri Dharma Perguruan tinggi meliputi : Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, serta Pengabdian pada Masyarakat.
  7. Ridho, Komar Zine Edisi Februari 2013 “Membunuh Demokrasi”. 2013 

Selasa, 22 Oktober 2013

LEBIH BAIK BERMAIN PETASAN

Oleh : Isra Yuda

“Kenapa kamu main petasan terus?! Ayahkan sudah bilang jangan main petasan terus kalau sahur! Nanti kalau petasan itu meledak di tangan kamu bisa – bisa tangan kamu sakit, bahkan bisa harus di amputasi! Jangan!” Gertak sang Ayah kepada Adi yang hanya bisa menunduk sambil memegang plastik berisi puluhan petasan korek.

“Bolehlah kamu main petasan, tapi jangan main terus menerus, apalagi petasan yang kamu mainin petasan yang meledak. Nanti kalo kamu atau teman kamu kena petasannya, bisa bahaya! Mau kamu kena petasan?!” Lanjut sang Ayah memarahi.

Ini baru jam tiga pagi. Suasana meja sahur keluarga Dodi diwarnai lirih isak tangis Adi dan kemarahan sang Ayah. Sementara Ibu sibuk di dapur, sang Ayah menasihati Adi yang terus saja memanfaatkan waktu sahur untuk bermain petasan bersama teman – temannya. Sang Ayah yang tidak suka dengan perilaku nakal anaknya dan tidak mau hal buruk akan terjadi mencoba memaksa sang Anak untuk menuruti perintahnya.

“Pokoknya besok kalau sahur, kamu gak boleh lagi main petasan. Kalau Ayah tahu kamu main petasan lagi, Ayah gak akan belikan hadiah buat lebaran nanti. Ayah juga gak akan kasih kamu uang jajan selama satu minggu. Mau kamu?!” Hardik sang Ayah.

“Iya Yah, gak lagi, hiks.. hiks..” Jawab Adi sambil menahan isak tangisnya.

Adi pergi ke kamarnya setelah selesai dihujani kata – kata Ayahnya. Ia berjalan sambil menahan isak tangis yang kian deras membasahi pipi, dengan mengusap matanya menggunakan lengan kirinya. Adi pun langsung membuka pintu kamar dengan sedikit kasar sehingga menimbulkan bunyi keras saat menutupnya.

Dalam diam sang Ibu memperhatikan dan mendengar setiap pembicaraan Adi dengan Ayahnya tadi. Sang Ibu yang memiliki sensitifitas dan rasa iba yang lebih besar terhadap anak berusaha menghampiri Adi di kamarnya dan memberi nasihat seorang Ibu dengan harapan Adi tidak larut dalam sedihnya, juga agar ia tidak memandang Ayahnya sebagai tokoh jahat yang hanya bisa memarahi. Dengan lembut sang Ibu berbicara sambil merangkul Adi yang berbaring tidur.

“Di, maafin Ayah ya. Ayah gak maksud marahi atau melarang Adi. Ayah baik kok, Ayah cuma gak mau Adi nanti kena petasan atau celaka. Apalagi Adi kan hampir setiap hari main petasan waktu sahur. Mungkin Ayah cuma pengen Adi di rumah sambil temani Ayah sahur, kan jarang – jarang Ayah bisa sahur sama kita. Ayah kan sibuk. Yah...” Ucap sang Ibu kepada Adi dengan nada lembut dan penuh perhatian.

“Iya mah, Adi tahu kok. Tapi Adi mau main petasan Mah?” Jawab Adi sambil memendamkan pipinya ke bantal dan mengusap air matanya.

“Nanti kamu boleh main petasan lagi, yang penting jangan sering – sering. Bahaya! Mamah aja takut. Mendingan Adi makan sahur dulu yuk sekarang. Biar puasanya kuat. Yah?” Jawab sang Ibu. Andi hanya mengangguk kecil mengiyakan bujukan sang Ibu dan beranjak dari kamarnya menuju meja makan.

“Pinteeeerr...” Puji sang Ibu.

Sampai di meja makan Adi langsung menuangkan nasi di atas piring kemudian mengambil posisi duduk berseberangan dengan Ayahnya yang masih sibuk menghabiskan makannya. Makan sahur dilanjut dengan suasana bisu.

Tak lama berselang sang Ayah menyelesaikan makan sahurnya dan langsung membuka laptop kerjanya di meja makan. Sang Ibu yang melihat hal itu hanya geleng – geleng kepala sambil menemani Adi makan. Sang Ayah seorang pekerja yang sibuk dan jarang menghabiskan waktu di rumah. Dengan aktivitasnya yang padat, terkadang ia terpaksa harus bermalam di kantor dan meninggalkan waktu sahur bersama keluarga.

“Yah, Ayah, Adi boleh nonton tv kan?” Tanya Adi kepada sang Ayah begitu selesai makan.

“Boleh.” Jawab sang Ayah singkat. Adi langsung beranjak dari meja makan menuju ruang tengah dan langsung menyalakan televisi.

Sang Ibu yang sedari tadi menunggu waktu untuk berbicara dengan sang Suami mendekatkan diri ke arah suaminya yang masih sibuk dengan laptopnya.

“Yah, Ayah nih sering marahi Adi” Ucap sang Istri membuka pembicaraan.

“Bukan begitu Bu, Ayah cuma gak mau Adi jadi nakal kalau Ayah lagi gak ada.” Jawab sang Suami ketus.

“Yey, Ayah aja jarang di rumah, mana tahu anaknya jadi nakal atau gak. Lagian sering – sering dong Yah makan sahur di rumah. Biar Adi gak keluar terus.” Keluh sang Istri.

“Ayah sibuk. Mamah kan tahu di kantor sekarang banyak yang libur. Masih banyak kerjaan yang belum selesai. Sedikit lagi.” Jawab sang Suami beralasan.

“Hem... dari kemarin gak selesai – selesai. Ya sudah, Ibu mau cuci piring dulu.” Ucap sang Istri jengkel dengan sikap suaminya.

Nyaring terdengar suara televisi dari ruang tengah. Ramai suara acara televisi yang di tonton Adi. Sang Ibu sibuk mencuci piring, sementara sang Ayah masih saja asik dengan kerjaannya. Dari dapur dapat terlihat Adi yang sedang menonton televisi dengan posisi duduk dengan jarak satu meter dari layar kaca. Senyum dan gelak tawanya terdengar dari sela – sela bising suara televisi.

“Yah, Ayah, sini Yah, acara tv sahurnya lucu nih” Teriak Adi dari ruang tengah mengajak sang Ayah untuk menemani.

“Hemmm....” Gumam sang Ayah.

“Yah, Ayah, artisnya lucu – lucu. Masa temennya di dorong – dorong sampai jatuh, hahahaha..” Teriak Adi sambil menyaksikan acara yang ditayangkan.

“Hemmm...” Lagi, jawab sang Ayah hanya bergumam.

“Yah, Yah, kok di tv orang – orangnya pada ketawa – tawa sambil ngeledekin temennya sendiri. masa temannya di pakein bedak – bedakkan, hahahaha. Udah gitu temennya malah balik ngeledekin temennya lagi, hahaha” Lanjut Adi begitu antusias menceritakan acara yang ia saksikan kepada sang Ayah sambil berharap sang Ayah mau ikut menonton bersamanya.

“Kamu memang nonton apa Nak?” Tanya sang Ayah sedikit penasaran, dengan sorot mata masih terpaku pada layar laptop.

“Acara sahur Yah. Acara sahurnya kebanyakan lucu – lucu. Tuh liat ja sendiri. masa acara sahurnya juga ada joget – jogetnya Yah. Ada artis cantiknya juga joget – joget kayak uler. Eh, penontonnya malah ikut – ikutan, hahahaha” Papar Adi.

Penasaran dengan cerita Adi yang terdengar meresahkan, sang Ayah mengalihkan perhatian dan melangkah ke ruang tengah. Ia begitu penasaran dengan apa yang ditonton Adi. Dengan langkah tegap sambil memegang secangkir teh yang hanya tinggal sepertiga gelas sang Ayah duduk di kursi tepat di belakang Adi.

“Tuh Yah, ini nih yang Adi ceritain” Ucap Adi sambil menunjuk layar kaca televisi.

Sang Ayah langsung kaget begitu melihat tayangan televisi sahur itu. Terlihat adegan seorang artis yang memakai pakaian ketat dan sedikit terbuka sedang berjoget meliuk – liuk menunjukan kemolekan tubuhnya sambil diiringi musik dugem, dan tariannya tersebut diikuti semua artis dan penonton yang ada. Ia semakin kaget ketika melihat artis lain justru seperti mencoba mendekati sang penari sambil sengaja menunjukan tarian yang sensual.

Sang Ayah kemudian menganalisa tayangan tersebut. Tangannya mendekati mulut dan jari telunjuknya mengusap – usap bagian bawah bibir. Ia berfikir, mengapa tayangan sahur menampilkan pertunjukan seperti ini. Ini sungguh tidak pantas untuk ditunjukan bahkan mencederai bulan suci Ramadhan. Tayangan ini begitu mengekspose tarian – tarian sensual dan lawakan yang tidak pantas. Apa tayangan ini yang sepanjang Ramadhan dimunculkan dan dilihat oleh banyak orang? Ini berbahaya. Apa jadinya Adi, anak saya kalau menonton tayangan seperti ini? Pikir sang Ayah.

“Adi, kamu gak boleh nonton acara ini. Sini remote tv nya!” Kata sang Ayah sambil meraih remote televisi.

Adi hanya pasrah dengan wajah sedikit jengkel kepada sang Ayah. Kenapa sih Ayah selalu mengganggu kesenangan Adi. Pikirnya dalam hati. Begitu meraih remote sang Ayah langsung memindahkan chanel televisi untuk mencari acara lain. Namun, sungguh mengecewakan, banyak acara televisi lain yang menayangkan acara serupa. Acara komedi sahur yang dibumbui hal – hal tidak pantas seperti kemolekan wanita dan lawakan dengan hinaan. Belum lagi beberapa artis di dalamnya sering berpakaian tidak sopan. Sang Ayah terus mencari chanel sambil sesekali menggeleng – gelengkan kepala ketika menemukan tayangan yang menurutnya tidak cocok di tonton oleh sang Anak.

Setelah memastikan diri bahwa tayangan sahur banyak yang tidak pantas dan tidak mendidik, sang Ayah, dengan sedikit frustasi lantas merebahkan punggungnya pada kursi dan memandang langit – langit rumah sambil berfikir. Sepertinya membiarkan Adi bermain petasan jauh lebih baik dari pada membuatnya menonton tayangan televisi seperti ini, hhuuuft.



Kamis, 05 September 2013

LOYALITAS

Oleh Unsiyah A. Hadey

Loyalitas, sebuah kata yang tak begitu asing ditelinga mahasiswa yang mengaku dirinya sebagai agent of change ini. Secara bahasa loyalitas berasal dari bahasa Inggris  Loyal yang memiliki arti setia.  Namun, secara istilah kita bisa mengartikan loyalitas adalah sikap patuh seseorang terhadap suatu sosok maupun sistem. Sistem/aturan disini bisa diartikan sebagai organisasi, kelompok, pekerjaan  maupun negara yang pada prinsipnya memiliki suatu aturan didalamnya.

Berbicara  mengenai loyalitas ini, tak asyik rasanya jika tidak memberikan sedikit contoh tentang loyalitas.

Contoh   ini berasal dari mantan presiden RI kita yang pertama yaitu Soekarno. Untuk masalah loyalitas Soekarno tak diragukan lagi beliau sangat setia membela Indonesia dan menentang keras segala bentuk penjajahan. Beliau tidak gentar untuk melawan musuh-musuhnya dengan tak-tik dan kerjasamanya dengan berbagai pemuda di Indonesia akhirnya dapat meraih kemerdekaan.

Contoh lainnya dalam suatu organisasi, yaitu misalnya anda terlibat dalam organisasi  X anda selalu ikut setiap kegiatan yang diadakan dan anda mengabdikan semua yang dibutuhkan oleh organisasi tersebut. Anda menganggap bahwasannya organisasi yang anda jalankan sekarang memiliki manfaat yang sangat besar terhadap anda. Mungkin, itu akan membuat anda melatih cara berbicara anda, mendapatkan teman maupun link yang banyak. Akan tetapi, Anda tidak saja berpikir secara demikian, anda juga harus berbuat yang maksimal kepada organisasi yang anda jalankan dan tentunya menjaga nama baik organisasi anda tersebut.

Naah! dari contoh tersebut, bisa disimpulkan sedikit bahwasannya faktor penentu seseorang menjadi loyal karena  lingkungan yang terjadi  dalam pekerjaan, kelompok, organisasi  maupun negara dan timbal balik yang ia dapatkan tersebut.

Namun, kenyataan yang saya lihat untuk sekarang ini, beberapa bahkan banyak juga loyalitas diartikan sebagai kesetiaan yang mengarah kepada person tidak pada suatu aturan. Lihat saja para pejabat saat ini banyak pejabat yang masuk  dalam jajaran partai tak terlepas dari sosok yang ditampilkan. Memang dalam politik sah - sah saja seseorang  menganggap dirinya loyal terhadap organisasi , kelompok maupun negara dikarenakan karena pemimipinnya . Hal ini, berarti loyalitas yang dipegang seseorang ini berdasarkan kualitas dari pemimpinnya. Namum loyalitas berdasar person ini, jika dalam suatu politik tersebut pemimpinnya menang maka yang menjadi pengikutnya akan menang juga (selamat), akan tetapi jika pemimpinnya kalah maka tumbanglah para pengikutnya hal ini karena didasarkan pada faktor person tadi.

Nah! jika begini pertanyaan pun muncul.  Apakah pemimpin juga membutuhkan loyalitas dari pengikutnya/anak buahnya? Jawabanya sangat tegas.. IYA.. karena  kembali lagi ke konsep awal loyalitas yang berdasarkan person  beriorientasi kepada orang.  Orang disini berarti tidak hanya pemimpinnya saja namun juga pengikutnya.  Misalnya saja dalam suatu negara seorang pemimpin walaupun sudah loyal dengan negara namun ia juga membutuhkan loyalitas dari pengikutnya agar mereka tidak mengkhianati apa yang sudah ia rencanakan (timbal balik).

Berarti dapat ditarik juga bahwasanya faktor penentu dari loyalitas bisa juga dari faktor pemimpinnya/ person .J

Dan lihatlah untuk sekarang ini lagi, Apakah orang-orang yang mengakunya memiliki pangkat dengan sebutan pejabat memiliki loyalitas terhadap negara ini. Saya kira “TIDAK” ( Hanya untuk beberapa saja). Bagaimana tidak, beberapa pejabat kita yang korupsi mulai dari sektor pajak, haji, pariwisata, bulog, dan masih banyak lainnya. Jika diteruskan seperti ini pertanyaan yang sangat besar muncul di benak saya adalah, Kenapa mereka tidak memiliki loyalitas padahal jelas-jelas mereka mendapatkan timbal balik yang mereka butuhkan? Apakah timbal balik itu kurang? Apakah faktor pemimpinnya tidak memberikan rasa loyalitas terhadapnya? Dan apakah faktor lingkungan yang mempengaruhi mereka untuk tidak bersikap loyalitas? Kalau begitu kenapa mereka menjadi pejabat? Pertanyaan terakhir bagi anda semua, Sudahkah anda loyal???

Semoga bermanfaat .. Trims.. Salam menulis - tak ada ruginya berbagi J selagi dalam hal positif.
 

Daftar Blog Saya