Oleh : Isra Yuda
Suatu hari
terjadi perdebatan antara si A dan si B mengenai konsep mana yang akan dipakai
dalam menyelenggarakan sebuah event. A mengatakan bahwa konsepnya-lah yang
paling cocok dan sesuai untuk dipakai dalam event, namun si B menyangkal. B
mengatakan bahwa konsepnya lebih bagus karena disesuaikan dengan kebutuhan
serta tujuan yang ada. Konsep B mengedepankan esensi dibanding sekedar
kreatifitas kosong semata seperti yang dibuat oleh si A. Maka mereka pun
berdebat tiada henti tentang konsep siapa yang paling baik.
A terlebih
dahulu menyerahkan konsepnya kepada atasan, namun si B, yang datang setelah A,
menjelek – jelekkan konsep si A dihadapan atasan dan mencoba meyakinkan atasan
untuk memakai konsep si B. Perdebatan berlanjut. Atasan yang jengkel karena
ulah mereka berdua lantas diam sejenak dan mencoba mengulur waktu dengan
mendengarkan ocehan mereka.
Setelah atasan
merasa cukup dengan kesabarannya, ia lantas menghardik A dan B untuk diam dan
mendengarkannya. Atasan mengatakan bahwa ia tidak akan menyetujui konsep
siapapun sebelum A merubah konsepnya menyerupai konsep B, dan menyuruh B
merubah konsepnya menyerupai konsep A. Perintah atasan membuat keduanya
bingung.
Maka keluarlah
mereka berdua dan saling bertatap tajam dan saling menjauh karena gengsi besar
mereka. Maka ketika mereka berdua lelah karena saling menjauh sementara masing –
masing mereka kesulitan untuk memperbaiki konsep sesuai perintah atasan,
merekapun saling bertemu dalam keadaan rikuh.
Mereka sekuat
tenaga memendam gengsi besar mereka. Amarah dan malu mereka tahan demi
meloloskan ide masing – masing. Ketika mereka berdua akhirnya bertukar konsep
dan saling membaca, akhirnya mereka tahu betapa banyak kekurangan konsep mereka
berdua dan betapa konsep mereka saling melengkapi, dan bersegera memperbaiki
konsep mereka masing – masing dengan meniru kelebihan konsep lawannya.
Hari berikutnya
mereka menghadap atasan dan menyerahkan konsep mereka yang telah diperbaharui. Atasan
yang melihat konsep masing – masing tahu bahwa pada akhirnya konsep mereka
berdua akan serupa. Menyadari hal tersebut, atasan yang terkenal cukup bijak
lalu bertanya, “Siapa yang lebih dahulu menemui siapa?”. Mereka berdua saling
bertatapan, lalu A menjawab, B yang terlebih dahulu menemui saya. Atasan
menjawab, “Maka konsep B-lah yang akan saya pakai!”.
A bertanya
kepada atasan, “Mengapa konsep B yang dipakai padahal konsep kami tidak jauh
berbeda?”. Atasan dengan tenang menjawab, “Bukan konsep sempurna yang saya
cari, tapi kemauan hati untuk menyempurnakan-lah yang saya harapkan sebagai
upaya mendekati kesempurnaan. B telah menunjukan upaya itu dengan terlebih
dahulu memendam egonya untuk mencari konsep yang lebih baik. Meskipun pada
akhirnya konsep kalian berdua sama, namun konsep B-lah yang akan saya pilih
karena nilai lebih yang belum kamu miliki”.
Mendengar hal
itu A mengerti dan berbesar hati untuk menerima keputusan atasan serta memberi
selamat kepada B.
Konsepsi Membutuhkan Pijakan
Ketika kita
hendak merumuskan kosepsi atau mencari suatu gagasan mengenai persoalan, banyak
dari kita dengan mudahnya merumuskan hal itu bermodalkan pengetahuan dan
pengalaman yang kita punya. Terkadang, karena mudahnya hal itu, kita lupa akan
bagaimana mengoreksi kekurangan – kekurangannya. Banyak dari kita memuja
pikiran sendiri karena merasa pintar dan berpengalaman. Kita tidak pernah tahu
atau mau tahu tentang apa yang dipikirkan orang lain, karena kesombongan kita
yang mengatakan bahwa kita lebih baik dari yang lain.
Gagasan yang
kita punya kita anggap sempurna, paling cocok, paling unggul, paling baik,
paling benar dan sebagainya. Kita tidak bisa terima kritik apapun meski itu
berasal dari diri kita sendiri. sikap ini menutup upaya lebih dalam mendekati
kesempurnaan yang sesungguhnya. Kita enggan bertanya atau meminta pendapat
orang lain. kita memiliki gengsi intelektual yang tak tertahankan dimana kita
mengganggap diri kita lebih pintar.
Bahkan saya
sendiri (pengalaman pribadi) pernah merasakan hal tersebut, hingga
mengakibatkan dampak buruk dalam segi pergaulan. Saya menyadari bahwa kemampuan
kita merumuskan suatu konsep tidak akan pernah sampai pada kesempurnaan jika
kita tidak membuka diri pada keterbukaan akan kesalahan yang ada. Semua orang
bebas berpendapat, namun bukan berarti semua pendapat orang adalah benar.
Kita lupa,
bahwa konsepsi yang kita miliki sejatinya adalah gagasan yang kita curi dari
orang lain. dari mana kita mendapat pengetahuan terhadap suatu gagasan? Tidak mungkin
tidak kalau kita mendapatkannya dari orang lain. kita bisa merumuskan konsepsi
negara demokratis dari pemikiran Montesque atau Soekarno. Kita bisa merumuskan
konsepsi diri dari buku para ahli psikologi. Kita bisa merumuskan konsepsi
pendidikan dari Freire, dan lain sebagainya. Kita tidak pernah memulainya dari
nol. Kita butuh pijakan untuk dapat merumuskan pijakan sendiri. kita butuh
cermin untuk melihat gambaran baru. Bahkan terkadang kita bercermin pada alam
untuk mendapat konsepsi tentang sesuatu.
Kesempurnaan Konsepsi
Mengunggulkan konsepsi
diatas konsepsi lain merupakan pengkotakan pemikiran. Bahayanya hal ini bisa
menimbulkan radikalisme pemikiran. Sejarah membuktikan betapa radikalisme
pemikiran[1] membawa petaka hebat bagi banyak orang. Seperti halnya terjadi pada
konsepsi orang – orang komunis mengenai negara. Demi terciptanya kondisi ideal
yang mereka citakan, segala konsepsi atau gagasan lain yang dianggap salah dan
bertentangan mereka habisi dengan brutal. Dampaknya, banyak jatuh korban dan
permusuhan akibat dendam sejarah.
Perdebatan konsepsi
memang diperlukan, karena hal tersebut merupakan bagian dari proses
penyempurnaan. Namun mengedepankan ego dan menutup diri dari kritik adalah
sikap yang membawa kita pada kebuntuan. Jika kita tidak mau menelanjangi
pikiran, maka pikiran itu tidak akan terbuka dengan sendirinya dan akan terjadi
stagnan yang mengakibatkan
tertutupnya berbagai solusi dari setiap kekurangan yang selalu ada dalam setiap
gagasan manusia.
Memiliki itikad
untuk memperbaiki dan menawarkan solusi adalah baik dan harus dilakukan terus
menerus, namun hasil yang dicapai harus disadari tidak akan pernah mencapai
kesempurnaan sejati. Proses adalah hal terpenting yang menjadikan suatu
konsepsi mendekati ksempurnaan. Untuk itu, sebuah konsepsi akan selalu diuji,
dikaji dan diperbaiki. Sikap tertutup terhadap hal itu merupakan penyesatan. Seperti
kisah yang penulis ceritakan diatas, keunggulan tidak terletak pada hasil yang
kita capai, karena setiap hasil yang kita capai bersifat relatif, namun upaya
mencapai hasil tersebutlah yang membuat kita selalu unggul. Keunggulan tersebut
terletak pada upaya kita untuk selalu belajar.
Belajar bukan
semata – mata mempelajari konsepsi orang lain demi hasil terbaik, namun belajar
yang dimaksud adalah bagaimana kita membuka hati dan menumbuhkan kesadaran
terhadap kekurangan. Dengan merasa kurang kita akan terus mendaki pada
pencapaian terbaik. Merasa kurang berarti menyadari bahwa kita harus terus
belajar. Belajar berarti melakukan upaya perbaikan secara mandiri. Kemandirian akan
membawa pada kualitas. Kualitas adalah modal untuk mendapatkan penghargaan
tertinggi.
Oleh karena
itu, membuat konsepsi merupakan langkah yang urgent dalam mewujudkan perubahan,
namun kita tidak boleh menutup pikiran dan hati dari kekurangan diri. Proses menuju
kesempurnaan akan selalu dan harus terjadi tanpa henti, dengan begitu kita bisa
semakin dekat dengan pembangunan kualitas perubahan terbaik.
0 komentar:
Posting Komentar