Oleh : Nisya' Tri Yolanda
Menulis, tak dapat dipaksakan.
Menulis, tak dapat dipaksakan.
Sesuatu
yang ketika kau ingin melakukannya maka kau pasti melakukannya. Sebaliknya
ketika kau tak sedang bergairah untuk menjamah alat tulismu maka kau juga
takkan melakukannya. Menulis butuh keikhlasan. Karena hanya dengan keikhlasan,
kau dapat membuat rangkaian huruf dingin nan bisu menjadi hidup. Mereka
berbicara, menangis, tertawa, marah atau bahkan dapat menjelma hangat layaknya
beberapa tangkai bunga krisan yang baru saja kau seduh ke dalam sebuah cangkir
tua milik nenekmu, yang kau hirup aromanya, kau hisap pelan-pelan hingga terasa
sampai ke hati.
Menulis, rencana yang akan
selalu meleset.
Ketika kau
ingin menulis tentang “dia” nyatanya jemarimu malah menari lincah menorehkan
sajak tentang “dia yang lain”. Kau takkan tahu bagaimana jadinya tulisanmu nanti,
apa yang kau pikirkan di awal pasti berbeda dengan apa yang dihasilkan hati
melalui tangan-tangan pasrahmu itu.
Menulis
adalah kebebasan.
Menulislah
seperti kau sedang mandi, lucuti semua tabir yang menutupmu. Seperti itulah
menulis. Sesederhana kau melakukan apapun di kamar mandi; tak seorang pun dapat
melarangnya. Menulislah seperti kau sedang berbicara dengan dirimu sendiri
dalam lamunan. Ide hanya akan jadi bangkai, membusuk, karena tak kau ijinkan ia
menghirup nafas kehidupan.
Menulislah,
jaga kemurnian pikir serta perasaanmu, juga perasaan mereka yang ingin menulis.
Karena tiada satupun kemerdekaan hakiki di dunia ini kecuali mereka yang dapat
berdiri di atas pikiran dan perasaannya sendiri. Ketika kau berbeda
pengertianpun – tentang menulis – dengan orang lain, maka kau hanya perlu
memberi kelapangan bagi kebebasan berpikir mereka; kau benar-benar tak harus
sepemikiran dengan mereka; kau hanya perlu seperasaan: perasaan saling
membebaskan. Berdamailah dalam perasaan saling membebaskan. Di situlah
kemerdekaan terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar