Oleh : Imamulhuda Alsiddiq
Sebagaimana yang telah diketahui oleh khalayak umum
mengenai eskalasi penggunaan media online yang semakin menajam dikalangan
masyarakat. Facebook, twitter, BBM, dan banyak media lainnya, bukan menjadi
sesuatu yang mewah ataupun rahasia kembali. Semua aspek, aktor dalam berbagai
struktur sosial yang ada sudah tidak kaget akan keberadaan media-media jejaring
sosial tersebut. Bahkan entitas tersebut pun tidak mengenal kualifikasi umur
penggunanya.
Penggunaan
media jejaring sosial ini secara masif dikalangan masyarakat menjadi senjata
yang menjanjikan bagi elit-elit politik dalam usaha merebut simpati masyarakat.
Para elit politik bisa dengan mudah berinteraksi dengan para konstituen mereka
dengan lebih mudah. Aspirasi atau visi dan misi pun bisa dengan mudah pula
tersampaikan, dan tentunya secara tidak langsung dapat memperhemat biaya
kampanye. Pemenangan Jokowi-Ahok dalam pemilukada Jakarta misalnya, menggunakan
media jejaring sosial online dalam suksesinya. Mulai proses deklarasi sampai
pemenangan pemilu tim sukses beberapa diantara mereka hanya perlu duduk didepan
komputer dan menjalankan strategi mereka melalui facebook dan twitter. Tidak
hanya Jokowi-Ahok, dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat yang dimenangkan
pasangan Obama-Bidden atas Romney-Ryan juga memanfaatkan jejaring sosial online
pula. Obama menang telak atas Romney dan kandidat yang lain dengan memperoleh
50,5% suara. Sedangkan Romney berada di bawah Obama dengan 47,9% suara.
Fenomena yang demikian jelas mengisyaratkan bahwa zaman post-modern benar-benar
merupakan zaman cyber. Segala sesuatu sudah terfasilitasi dengan teknologi
informasi ini, mulai pendidikan, roda perekonomian, sampai pada ranah politik.
Setiap orang dapat dengan mudah terhubung dengan yang lain tanpa harus bertatap
muka. Calon kandidat kepala daerah ataupun kepala negara dapat dengan mudah
berinteraksi dengan masyarakat, mengambil simpati masyarakat, melakukan
pencitraan hanya melalui media onine khususnya dan media-media lain secara
umum.
Hidden Reality
Media berperan penting dalam proses
dinamika perpolitikan Indonesia, entah itu bagi elit-elit politik ataupun
masyarakat luas. Melalui media, tidak hanya media online, media apapun yang
menjadi wadah atau sarana informasi massa, segala informasi dapat tersampaikan
kepada masyarakat luas, termasuk didalamnya intrik-intrik politik. Melalui
kebebasan pers sebagai salah satu representasi dari media pula, mununjukkan
akan adanya proses demokratisasi di suatu negara. Dengan artian kebebasan dalam
mengakses ataupun berekspresi dalam media, menyalurkan pendapat, gagasan,
opini, kritikan pedas kepada pemerintah, merupakan salah satu ciri berjalannya
proses demokrasi.
Akan tetapi, media pun juga mempunyai
sisi-sisi gelap yang tidak semua orang dapat mengetahuinya dengan pasti apa isi
dari sisi gelap tersbeut. Isi pemberitaan di media sangat tergantung pada apa
yang sedang menjadi topik hangat di masyarakat. Sebelum itu, kesemua isi media
yang tergantung pada apa yang menjadi topik hangat atau yang laris di masyarakat,
sangat ditentukan oleh aktor-aktor media tersebut bermanuver, memoles berita
sedemikian rupa, memilah berita yang sekiranya bisa menarik perhatian
masyarakat. Eskalasi topik yang hangat dibicarakan dimasyarakat ditentukan
bagaimana awak media memberitakan suatu peristiwa. Ada peristiwa tertentu yang
sebenarnya tidak terlalu menarik perhatian masyarakat, akan tetapi oleh awak
media peristiwa tersebut terus menerus dengan bertubi-tubi diberitakan, ada
yang dibesar-besarkan beritanya, ada pula bagian berita yang ditenggelamkan.
Banyak peristiwa-peristiwa hukum dan
politik yang sudah tidak lagi menjadi pembicaraan serius rakyat Indonesia
sebagai pemegang kedaulatan negara. Peristiwa-peristiwa yang ditenggelamkan
begitu saja oleh media yang memunculkan wacana-wacana baru. Mengutip salah satu
pendapat teman seperjuangan dalam status
facebook-nya, yang intinya bahwa media memainkan peran dengan
menenggelamkan pemberitaan pembahasan RUU tertentu, yang seharusnya perlu untuk
diketahui oleh publik dengan memunculkan pemberitaan yang lain yang sebenarnya
secara prioritas dalam kaitanya dengan kehidupan bernegara, kurang penting.
Dengan demikian, peran media sangat
besar dalam pembentukan opini publik, suksesi politik, mobilisasi masa, dan
lain sebagainya. Sehingga dengan adanya media, akan muncul suatu realitas yang
diketahui publik dan realitas yang ada di belakang, yang oleh publik tidak
diketahui. Terminologi ini oleh Goffman dalam teori dramaturgi-nya dibahasakan dengan front stage untuk realitas yang diketahui oleh publik dan back stage untuk realitas yang
tersembunyi. Media mempunyai peran besar untuk memunculkan atau tidak
memunculkan realitas-realitas tersebut dihadapan publik.
Konsumen Media yang Cerdas
Dinamika
perpolitikan di Indonesia dengan ini, sedikit banyak, ada hubungan pengaruh dan
mempengaruhi dengan media. Negara, partai politik, dan masyarakat sebagai
bagian kecil dari proses politik, sangat memerlukan eksistensi media sebagai
titik tengah dalam interaksi politik. Media setelah reformasi, gerakannya
semakin bebas, bebas bermanuver, bebas memoles realitas yang didapatnya untuk
disajikan kepada masyarakat. Dengan kebebasan media ini, tak ayal akan semakin
memunculkan differensiasi atau varietas pemberitaan yang semakin beragam.
Dengan
posisi media dalam kancah politik terletak pada posisi yang sentral, membentuk
opini publik, menebarkan wacana, memberikan suatu pencitraan, yang bisa jadi
sangat beragam tersebut, dapat pula memunculkan interpretasi masyarakat yang
beragam-ragam pula. Terlepas dari kemungkinan adanya sentimen subjektif setiap
individu, masyarakat pun akan mempunyai penilaian terhadap fenomena politik
yang terjadi melalui informasi yang disajikan oleh media. Ada media yang
benar-benar menginformasikan realitas apa adanya. Ada pula media yang terlalu
membesar-besarkan, dan lain sebagainya. Sehingga varietas pemberitaan media ini
akan membuat pemahaman masyarakat semakin beragam pula. Masyarakat membutuhkan
informasi yang benar dan valid atas atmosfer politik yang terjadi. Interpretasi
dan pemahaman masyarakat penuh merupakan hak bagi masayrakat sendiri.
Masyarakat bebas memberikan penilaian, dan pemahaman terkait fenomena tersebut.
Sebagai
konsumen media, setiap individu dan masyarakat perlu kiranya untuk tidak asal
menelan atau mengkonsumsi informasi dari media begitu saja. Setiap individu
dalam masyarakat perlu kiranya untuk benar-benar melihat dengan jeli informasi
yang dikonsumsinya. Hanya berfokus pada satu media saja, tanpa memperhatikan
media atau sumber yang lain, merupakan hal yang gegabah dalam mengkonsumsi
informasi dari media, terlebih lagi informasi tersebut nantinya digunakan untuk
memberikan penilaian. Karena dalam ilmu sosial dan politik, fenomena-fenomena
tersebut bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Untuk itulah perlu setiap
konsumen media harus cerdas dalam mengkonsumsi media, jangan hanya bertitik
tolak pada satu media saja. Sumber informasi lain juga perlu dipertimbangkan
dalam mencari informasi yang benar-benar komprehensif, dan tidak
setengah-setengah.
0 komentar:
Posting Komentar