Oleh : Ahmad Finchy A.
Dalam demokrasi, harus ada yang menang dan kalah—Hillary
Clinton
Tulisan ini berjudul sama dengan tulisan salah seorang teman
yang digunakan untuk Propaganda pada Pemilu 2009 silam1. Bukan bermaksud
menjiplak, kami hanya ingin mengadopsinya kedalam ranah yang lebih kecil yaitu
mahasiswa. Tujuan dari pembicaraan singkat ini adalah untuk meyakinkan anda
sekalian untuk lebih peduli terhadap kampus kita dan untuk menyadarkan
teman-teman kita yang sedang tersesat2.
Dewasa ini, Demokrasi sangat marak sekali di kalangan
mahasiswa, banyak hal yang kemudian disangkut pautkan dengan Demokrasi, mulai
dari ranah diskusi, analisis isu/fenomena, menyematkanya untuk sebutan kampus,
melabeli kelompok atau organisasi, sampai pada hal yang selalu diklaim dan
digembar-gemborkan sebagai ‘Pesta Demokrasi’3. Lalu kenapa kita tidak merasa
ada sesuatu yang menggembirakan, jika demokrasi adalah solusi dari segala
masalah? Kenyataanya di kampuspun masih kerap terjadi kekerasan Ospek, saling
boikot antar kelompok, perebutan kekuasaan, bahkan sampai saling berebut kader
organisasi. Lalu, ada yang salah dengan ‘demokrasi’ kita? Apakah ada alternatif
yang lebih memungkinkan?
Siapapun bisa berada di BEM maupun BLM
Adalah suatu kebohongan besar apabila ingin menjadi pengurus
BEM atau BLM harus menjadi kader di ‘salah satu’ Organisasi terlebih dahulu,
harus mengikuti sistem pemilihan dan harus punya suara terbanyak. Semua orang
punya hak yang sama, Siapapun sebenarnya berhak untuk berpartisipasi dalam
menjalankan sistem itu. Posisi-posisi di dalamnya haruslah dibagi secara adil
di beberapa golongan agar bisa berjalan sebagai mana mestinya.
Sistem kita sangatlah tidak demokratis, kita semua sudah
tahu susunan struktural di BEM dan BLM disusun dengan proporsi yang secara
absurd sangatlah tidak adil. Hanyalah golongan ‘mereka’ saja yang ada disitu.
Kalau begitu masih bisa berjalankah fungsi check and Balances di BLM? Masih
pantaskah disebut Badan Eksekutif Mahasiswa? mulai sekarang sebut mereka Badan
EKSKLUSIF Mahasiswa.
“Lihat, Kotak Suara—Demokrasi? Atau Pseudo Democracy?”
Apabila demokrasi adalah sesuatu yang berharga di mana telah
banyak yang berjuang untuknya, maka kotak suara adalah sebuah pereduksian makna
atas demokrasi itu sendiri, seseorang cukup memasukkan pilihan suaranya pada
sebuah kotak, kemudian kembali pada aktivitasnya, tanpa sadar mereka telah dicurangi,
bahwa sistim kotak suara sangat mudah sekali untuk dimanipulasi. Semuanya sudah
di desain dari awal hingga akhir.
Dengan sistem Partai yang sebenarnya dibuat sebagai dalih
untuk menutupi kecurangan, belum lagi pelibatan Partai MaBa (Mahasiswa Baru)
hasil dari pengkaderan salah satu Organ Ekstra, alasanya pasti sangat klise
untuk proses belajar. Padahal itu adalah suara terbesar yang bisa dengan mudah
dimanfaatkan. Harusnya mereka masih baru belum pantas ikut dalam permainan
karena mereka rentan dimanfaatkan.
Kampus yang disebut sebut sebagai miniatur negara banyak
mengadopsi tentang Undang Undang dan segala peraturan yang ada di sistem NKRI.
Diharapkan dengan adanya UU ini yang disahkan oleh dewan legislatif mahasiswa
tidak ada kecurangan kecurangan dalam proses Pesta Demokrasi kampus dan
menghasilkan pemimpin yang layak yang nantinya. Tetapi apa daya ketika suatu
kelompok yang berkepentingan ingin menjadi penguasa dengan mengindahkan azas
azas demokrasi, Semua sudah disiapkan dengan rapi dengan mengatur undang undang
yang agar orang yang berkepentingan disini bisa kembali di kursi hangat ketua
BEM dan BLM. Banyak kecacatan yang ditemukan dalam proses pengesahan Undang
Undang baik dalam perihal pembentukan KPU sampai proses verifikasi bakal calon4.
Dan sekali lagi, kita semua tahu itu, semua hasil dari kotak suara itu sangat
tidak masuk akal dan semuanya sudah dipersiapkan. Inilah kampus kita, miniatur
dari negara, jika mahasiswanya aja udah berbuat hal macam ini jangan salahkan
kalau nanti negara kita juga ikut rusak.
Sistem kotak suara bukanlah sistem yang demokratis, karena
tetap suara terbanyaklah yang menang, Kita menerima kebenaran secara mutlak
bahwa kepentingan mayoritas lebih penting karena kita tidak pernah percaya
bahwa hal tersebut akan mengancam kepentingan kita. Dalam hal ini mungkin
konsensus bisa menjadi sebuah alternatif, Demokrasi konsensus tidak menuntut
agar seseorang menerima kekuatan orang lain atas hidupnya, walaupun hal ini
juga bukan berarti bahwa tiap orang tidak membutuhkan orang lain, walaupun
dalam soalan efisiensi, hal seperti ini amatlah lamban, tetapi dalam segi
kebebasan dan itikad baik, hal tersebut akan mendapat poin yang sangat tinggi.
Demokrasi konsensus tidak memaksa orang untuk mengikuti pemimpin ataupun
standarisasi nilai, melainkan membiarkan orang lain untuk memiliki tujuannya
dan cara pencapaiannya sendiri5.
Kekerasan Ospek adalah Efek Rezim, maka janganlah Memilih!
"Masih terlalu banyak mahasiswa bermental sok kuasa.
Merintih kalau ditekan, menindas kalau
berkuasa, mementingkan golongan, ormas, teman seideologi,
dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari SMA, Mereka akan jadi
korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi"
(Soe Hok Gie)
Kenapa kekerasan pada ospek terus terjadi? Kenapa Ospek yang
harusnya ‘Orientasi’ berubah menjadi ‘Ajang Senioritas’? Salah satunya adalah
karena yang berkuasa masih tetap dari golongan yang sama, ini adalah efek
berantai. Menurut filsuf John Dewey, sekarang ini, pendidikan sedang diancam oleh
kekuatan besar yang salah satunya adalah kekuatan dari rezim-rezim otoriter
(authoritarian regimes) yang ingin menciptakan manusia-manusia yang tunduk dan
patuh (docile human) pada ideologi yang ada. Ospek berbasis kekerasan ini
merupakan efek smping dari terlalu dominanya suatu ideologi yang memaksakan
ideologi mereka yang paling benar, budaya kekerasan yang terus direproduksi,
bersikap tidak Toleran dan juga Arogan. Karena budaya yang diturunkan sama,
budaya ospek yang dulu pun tetap dilanggengkan hingga saat ini. Kalau yang
berkuasa masih tetap sama dikuasai oleh satu golongan tertentu, jangan harap
hal itu akan berakhir. Dengan ikut berpartisipasi dan memilih mereka maka anda
juga ikut melanggengkan penindasan di kampus. Oleh karena itu, Keputusan untuk
tidak memilih sangat tepat, karena keputusan untuk tidak memilih adalah
termasuk suatu hal yang sangat Demokratis.
Mahasiswa yang menjadi Pengkhianat Mahasiswa
Masih ingatkah kalian dengan ‘Tri Dharma Perguruan Tinggi’?6
kenapa hal itu selalu diajarkan pada Mahasiswa Baru? Karena itulah yang menjadi
tujuan, itulah jati diri kita. Kita diharapan untuk menjadi mahasiswa yang bisa
lebih termotivasi dan sadar bahwa betapa pentingnya peranan kita di masyarakat,
seperti dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Namun
lihat keadaan sekarang, tidak satupun dari Tri Dharma yang terlaksana. Mereka
lupa pada tujuan utama mahasiswa yang seharusnya mengisi ruang-ruang politis
yang lebih berorientasi pada masyarakat, bukanya malah menceburkan diri pada
ruang politik semu perebutan kekuasaan di kampus.
Tidak semua mahasiswa dapat menerapkan demokrasi secara
substansial, mereka justru malah terjebak dalam makna simbolik semata dan
menciptakan pseudo democracy (demokrasi semu). poin penting mengapa demokrasi
diajukan oleh Robert Dahl (2001) bahwa demokrasi untuk menghindari tirani yang
mengusung rezim kediktatoran yang dominatif. Namun potrem buram tirani tersaji
dalam praktik-praktik politik kampus yang menggunakan embel-embel demokrasi.
Sebagian mahasiswa larut dalam pergulatan politik kampus dengan cara-cara
tirani yang anti-demokrasi. semua dilakukan hanya untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan di organisasi intra kampus. Kampus disulap menjadi
lahan pertarungan kepentingan kekuasaan tanpa mengindahkan nilai-nilai
substansial demokrasi. Demokrasi hanya didengungkan oleh mahasiswa diluar
kampus ,namun didalam kampus nyanyian euphoria tirani semakin nyaring
terdengar. Alunan melodi tirani berjalan dengan perilaku politik yang mengacu
pada nafsu kekuasaan belaka. Mahasiswa sebagai agen demokrasi justru kembali
menghidupkan tirani di kampus dan
membunuh demokrasi di kampus. Pembunuhan demokrasi dilakukan atas kepentingan
kelompoknya dengan melakukan penindasan lewat pembatasan kesempatan politik
atau permainan licik politik kampus. Logika persamaan yang menjadi spirit
demokrasi terkikis oleh nafsu mencapai kekuasaan politik kampus. Dalam hal ini
diam melihat tirani mahasiswa atas mahasiswa adalah merupakan penghianatan3.
Marilah sebagai mahasiswa yang sadar akan pentingnya peran
mahasiswa di masyarakat, kita perlu mengembalikan tujuan mahasiswa yang
harusnya memiliki manfaat nyata bagi masyarakat secara luas. Hidup Mahasiswa!!!
Bangkitlah Kalian Kaum Intelektual !!!
Catatan :
- Katalis, “Organisasikan Komunitasmu, Jangan Memilih”. 2009
- Sangat cocok dengan keadaan mahasiswa sekarang yang semakin melenceng jauh dari jati dirinya.
- Istilah Pesta Demokrasi sering digunakan mahasiswa pada saat Pemilihan BEM dan BLM di kampus.
- Achmad, KOMAR Zine Edisi Februari 2013 “Pencideraan Demokrasi”. 2013
- Metode Konsensus biasa digunakan kelompok Anti-Otoritarian dalam mengambil suatu keputusan karena sifatnya yang lebih egaliter.
- Tri Dharma Perguruan tinggi meliputi : Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, serta Pengabdian pada Masyarakat.
- Ridho, Komar Zine Edisi Februari 2013 “Membunuh Demokrasi”. 2013
0 komentar:
Posting Komentar