Oleh : Imamulhuda Alsiddiq
Jika ditanya kenapa saya menulis? Saya akan menjawab
bahwa jika mayat bisa diawetkan dengan formalin, maka pemikiran bisa diawetkan
dengan tulisan. Melalui tulisan, gagasan dan ide saya bisa lebih mengenang. Bagaimana
mungkin seorang perempuan jelita bisa terbayang-bayang lelaki pujaannya tanpa
kenal waktu, jika ia tidak jatuh hati padanya, dan bagaimana mungkin ide dan
gagasan kita bisa hinggap menerkam imajinasi orang lain jika tidak ditransformasikan,
dan instrumen tulisan-lah yang sangat mungkin untuk melakukan hal tersebut.
Transformasi
ide dan gagasan dapat melalui media apapun. Audio
visual, tatap muka, atau yang sedikit berbau mistik, melalui mimpi, dan
lain sebagainya, akan tetapi tulisan adalah entitas yang dapat dibaca
berulang-ulang, sehingga transfer ide, gagasan, ilmu dan pengetahuan dapat
berlangsung semakin tajam. Ide tidak mudah sirna dengan tulisan, gagasan tidak
mudah hilang dengan tulisan, ilmu tidak menjadi semu, dan pengetahuan tidak
hanya jadi angan.
Sebenarnya menulis tidak jauh berbeda dengan hobi-hobi
insan lainnya. Menulis tidak jauh berbeda dengan menyanyi, menulis tidak jauh
berbeda dengan bermain musik, menulis-pun tidak jauh berbeda dengan bermain
bola. Apa yang membuat mereka tidak jauh berbeda? Yakni pada proses untuk
mendapatkannya. Prosesnya hampir sama, yaitu sering-sering berlatih.
Menulis
merupakan kombinasi dari kemampuan kognitif dan kemampuan psikomotorik.
Meskipun demikian kemampuan psikomotorik-lah yang paling mendominasi untuk
membangun kemampuan menulis. Tanpa adanya latihan, latihan dan latihan, mencoba,
mencoba dan mencoba, mustahil kemampuan menulis bisa terbangun dengan baik.
Oleh karena itulah tidak salah jika salah satu senior saya menyatakan bahwa
belajar menulis bak belajar menggayuh sepeda. Bukan teori yang ditekankan,
melainkan coba dan mencoba.
Ketika
kecil, kita tentu sangat ingat betul bagaimana kala itu kita belajar bersepeda.
Kaki kecil nan imut kita belajar menggayuh sepeda ketika itu, naek dan ternyata terjatuh. Tak pantang
menyerah, kita pun mencoba lagi. Sekian banyak kita mencoba sekian banyak pula
kita terjatuh ketika itu. Tapi bukan kita namanya kalo pantang menyerah. Sampai akhirnya kita bisa menggayuh, dan
sepeda kecil yang berbunyi “ngek ngek ngek” itu pun bisa kita kendarai dengan
mulusnya. Tapi sepertinya laju sepeda masih terlihat tak beraturan, senggol
kanan dan sengol kiri. Jangan khawatir, itu merupakan permulaan yang baik,
sampai akhirnya kita bisa menggayuh sepeda dengan baik, sepeda gayuh itu pun
akhirnya bisa berjalan aduhai.
Layaknya belajar bersepeda, belajar menulis pun demikian,
berawal dari keinginan yang sangat sulit untuk membangunnya, berlanjut membuat
prosa dan menentukan diksi-diksi yang cantik, sampai pada tulisan yang utuh,
kita pasti mengalami proses jatuh bangun, sampai pada akhirnya bisa berdiri
tegap dan benar-benar meyakinkan. Jangan berhenti ketika engkau jatuh, dan
jangan putus asa ketika engkau sakit. Kata kuncinya ada pada coba, coba dan
coba.
Mengawali
menulis tidak selalu membuahkan hasil yang baik. Kritik dan saran dari pihak
lain sangatlah dibutuhkan untuk membuat kemampuan menulis kita bisa terasah
dengan baik. Oleh karena itu mari kita semua berkumpul dan berhimpun pada satu
wadah dalam upaya saling mengisi, saling bertukar pengetahuan, kemampuan, keahlian
dalam segala hal terutama menulis. Melalui wadah ini mari kita bentuk sociowriter-sociowriter selanjutnya
dalam bingkai kekeluargaan.
Kemampuan-kemampuan
yang sangat bervariasi dan heterogen, berkumpul menjadi satu dan saling
bertukar akan menghasilkan individu ataupun komunitas yang khas dan skillable. Pelangi dikatakan indah karena
terdiri dari berbagai warna, dan komunitas dikatakan indah dan kuat jika
terdiri dari berbagai variasi skill yang dihiasi dengan sikap saling mengisi.
SELAMAT MENCINTAI TULISAN, SELAMAT SALING MENGISI, SEMANGAT PENA, DAN SALAM
SOCIOWRITERS.
0 komentar:
Posting Komentar