Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 22 Oktober 2013

LEBIH BAIK BERMAIN PETASAN

Oleh : Isra Yuda

“Kenapa kamu main petasan terus?! Ayahkan sudah bilang jangan main petasan terus kalau sahur! Nanti kalau petasan itu meledak di tangan kamu bisa – bisa tangan kamu sakit, bahkan bisa harus di amputasi! Jangan!” Gertak sang Ayah kepada Adi yang hanya bisa menunduk sambil memegang plastik berisi puluhan petasan korek.

“Bolehlah kamu main petasan, tapi jangan main terus menerus, apalagi petasan yang kamu mainin petasan yang meledak. Nanti kalo kamu atau teman kamu kena petasannya, bisa bahaya! Mau kamu kena petasan?!” Lanjut sang Ayah memarahi.

Ini baru jam tiga pagi. Suasana meja sahur keluarga Dodi diwarnai lirih isak tangis Adi dan kemarahan sang Ayah. Sementara Ibu sibuk di dapur, sang Ayah menasihati Adi yang terus saja memanfaatkan waktu sahur untuk bermain petasan bersama teman – temannya. Sang Ayah yang tidak suka dengan perilaku nakal anaknya dan tidak mau hal buruk akan terjadi mencoba memaksa sang Anak untuk menuruti perintahnya.

“Pokoknya besok kalau sahur, kamu gak boleh lagi main petasan. Kalau Ayah tahu kamu main petasan lagi, Ayah gak akan belikan hadiah buat lebaran nanti. Ayah juga gak akan kasih kamu uang jajan selama satu minggu. Mau kamu?!” Hardik sang Ayah.

“Iya Yah, gak lagi, hiks.. hiks..” Jawab Adi sambil menahan isak tangisnya.

Adi pergi ke kamarnya setelah selesai dihujani kata – kata Ayahnya. Ia berjalan sambil menahan isak tangis yang kian deras membasahi pipi, dengan mengusap matanya menggunakan lengan kirinya. Adi pun langsung membuka pintu kamar dengan sedikit kasar sehingga menimbulkan bunyi keras saat menutupnya.

Dalam diam sang Ibu memperhatikan dan mendengar setiap pembicaraan Adi dengan Ayahnya tadi. Sang Ibu yang memiliki sensitifitas dan rasa iba yang lebih besar terhadap anak berusaha menghampiri Adi di kamarnya dan memberi nasihat seorang Ibu dengan harapan Adi tidak larut dalam sedihnya, juga agar ia tidak memandang Ayahnya sebagai tokoh jahat yang hanya bisa memarahi. Dengan lembut sang Ibu berbicara sambil merangkul Adi yang berbaring tidur.

“Di, maafin Ayah ya. Ayah gak maksud marahi atau melarang Adi. Ayah baik kok, Ayah cuma gak mau Adi nanti kena petasan atau celaka. Apalagi Adi kan hampir setiap hari main petasan waktu sahur. Mungkin Ayah cuma pengen Adi di rumah sambil temani Ayah sahur, kan jarang – jarang Ayah bisa sahur sama kita. Ayah kan sibuk. Yah...” Ucap sang Ibu kepada Adi dengan nada lembut dan penuh perhatian.

“Iya mah, Adi tahu kok. Tapi Adi mau main petasan Mah?” Jawab Adi sambil memendamkan pipinya ke bantal dan mengusap air matanya.

“Nanti kamu boleh main petasan lagi, yang penting jangan sering – sering. Bahaya! Mamah aja takut. Mendingan Adi makan sahur dulu yuk sekarang. Biar puasanya kuat. Yah?” Jawab sang Ibu. Andi hanya mengangguk kecil mengiyakan bujukan sang Ibu dan beranjak dari kamarnya menuju meja makan.

“Pinteeeerr...” Puji sang Ibu.

Sampai di meja makan Adi langsung menuangkan nasi di atas piring kemudian mengambil posisi duduk berseberangan dengan Ayahnya yang masih sibuk menghabiskan makannya. Makan sahur dilanjut dengan suasana bisu.

Tak lama berselang sang Ayah menyelesaikan makan sahurnya dan langsung membuka laptop kerjanya di meja makan. Sang Ibu yang melihat hal itu hanya geleng – geleng kepala sambil menemani Adi makan. Sang Ayah seorang pekerja yang sibuk dan jarang menghabiskan waktu di rumah. Dengan aktivitasnya yang padat, terkadang ia terpaksa harus bermalam di kantor dan meninggalkan waktu sahur bersama keluarga.

“Yah, Ayah, Adi boleh nonton tv kan?” Tanya Adi kepada sang Ayah begitu selesai makan.

“Boleh.” Jawab sang Ayah singkat. Adi langsung beranjak dari meja makan menuju ruang tengah dan langsung menyalakan televisi.

Sang Ibu yang sedari tadi menunggu waktu untuk berbicara dengan sang Suami mendekatkan diri ke arah suaminya yang masih sibuk dengan laptopnya.

“Yah, Ayah nih sering marahi Adi” Ucap sang Istri membuka pembicaraan.

“Bukan begitu Bu, Ayah cuma gak mau Adi jadi nakal kalau Ayah lagi gak ada.” Jawab sang Suami ketus.

“Yey, Ayah aja jarang di rumah, mana tahu anaknya jadi nakal atau gak. Lagian sering – sering dong Yah makan sahur di rumah. Biar Adi gak keluar terus.” Keluh sang Istri.

“Ayah sibuk. Mamah kan tahu di kantor sekarang banyak yang libur. Masih banyak kerjaan yang belum selesai. Sedikit lagi.” Jawab sang Suami beralasan.

“Hem... dari kemarin gak selesai – selesai. Ya sudah, Ibu mau cuci piring dulu.” Ucap sang Istri jengkel dengan sikap suaminya.

Nyaring terdengar suara televisi dari ruang tengah. Ramai suara acara televisi yang di tonton Adi. Sang Ibu sibuk mencuci piring, sementara sang Ayah masih saja asik dengan kerjaannya. Dari dapur dapat terlihat Adi yang sedang menonton televisi dengan posisi duduk dengan jarak satu meter dari layar kaca. Senyum dan gelak tawanya terdengar dari sela – sela bising suara televisi.

“Yah, Ayah, sini Yah, acara tv sahurnya lucu nih” Teriak Adi dari ruang tengah mengajak sang Ayah untuk menemani.

“Hemmm....” Gumam sang Ayah.

“Yah, Ayah, artisnya lucu – lucu. Masa temennya di dorong – dorong sampai jatuh, hahahaha..” Teriak Adi sambil menyaksikan acara yang ditayangkan.

“Hemmm...” Lagi, jawab sang Ayah hanya bergumam.

“Yah, Yah, kok di tv orang – orangnya pada ketawa – tawa sambil ngeledekin temennya sendiri. masa temannya di pakein bedak – bedakkan, hahahaha. Udah gitu temennya malah balik ngeledekin temennya lagi, hahaha” Lanjut Adi begitu antusias menceritakan acara yang ia saksikan kepada sang Ayah sambil berharap sang Ayah mau ikut menonton bersamanya.

“Kamu memang nonton apa Nak?” Tanya sang Ayah sedikit penasaran, dengan sorot mata masih terpaku pada layar laptop.

“Acara sahur Yah. Acara sahurnya kebanyakan lucu – lucu. Tuh liat ja sendiri. masa acara sahurnya juga ada joget – jogetnya Yah. Ada artis cantiknya juga joget – joget kayak uler. Eh, penontonnya malah ikut – ikutan, hahahaha” Papar Adi.

Penasaran dengan cerita Adi yang terdengar meresahkan, sang Ayah mengalihkan perhatian dan melangkah ke ruang tengah. Ia begitu penasaran dengan apa yang ditonton Adi. Dengan langkah tegap sambil memegang secangkir teh yang hanya tinggal sepertiga gelas sang Ayah duduk di kursi tepat di belakang Adi.

“Tuh Yah, ini nih yang Adi ceritain” Ucap Adi sambil menunjuk layar kaca televisi.

Sang Ayah langsung kaget begitu melihat tayangan televisi sahur itu. Terlihat adegan seorang artis yang memakai pakaian ketat dan sedikit terbuka sedang berjoget meliuk – liuk menunjukan kemolekan tubuhnya sambil diiringi musik dugem, dan tariannya tersebut diikuti semua artis dan penonton yang ada. Ia semakin kaget ketika melihat artis lain justru seperti mencoba mendekati sang penari sambil sengaja menunjukan tarian yang sensual.

Sang Ayah kemudian menganalisa tayangan tersebut. Tangannya mendekati mulut dan jari telunjuknya mengusap – usap bagian bawah bibir. Ia berfikir, mengapa tayangan sahur menampilkan pertunjukan seperti ini. Ini sungguh tidak pantas untuk ditunjukan bahkan mencederai bulan suci Ramadhan. Tayangan ini begitu mengekspose tarian – tarian sensual dan lawakan yang tidak pantas. Apa tayangan ini yang sepanjang Ramadhan dimunculkan dan dilihat oleh banyak orang? Ini berbahaya. Apa jadinya Adi, anak saya kalau menonton tayangan seperti ini? Pikir sang Ayah.

“Adi, kamu gak boleh nonton acara ini. Sini remote tv nya!” Kata sang Ayah sambil meraih remote televisi.

Adi hanya pasrah dengan wajah sedikit jengkel kepada sang Ayah. Kenapa sih Ayah selalu mengganggu kesenangan Adi. Pikirnya dalam hati. Begitu meraih remote sang Ayah langsung memindahkan chanel televisi untuk mencari acara lain. Namun, sungguh mengecewakan, banyak acara televisi lain yang menayangkan acara serupa. Acara komedi sahur yang dibumbui hal – hal tidak pantas seperti kemolekan wanita dan lawakan dengan hinaan. Belum lagi beberapa artis di dalamnya sering berpakaian tidak sopan. Sang Ayah terus mencari chanel sambil sesekali menggeleng – gelengkan kepala ketika menemukan tayangan yang menurutnya tidak cocok di tonton oleh sang Anak.

Setelah memastikan diri bahwa tayangan sahur banyak yang tidak pantas dan tidak mendidik, sang Ayah, dengan sedikit frustasi lantas merebahkan punggungnya pada kursi dan memandang langit – langit rumah sambil berfikir. Sepertinya membiarkan Adi bermain petasan jauh lebih baik dari pada membuatnya menonton tayangan televisi seperti ini, hhuuuft.



 

Daftar Blog Saya