Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 27 Agustus 2013

POLITIK, MEDIA, DAN MASYARAKAT

Oleh : Imamulhuda Alsiddiq

                Sebagaimana yang telah diketahui oleh khalayak umum mengenai eskalasi penggunaan media online yang semakin menajam dikalangan masyarakat. Facebook, twitter, BBM, dan banyak media lainnya, bukan menjadi sesuatu yang mewah ataupun rahasia kembali. Semua aspek, aktor dalam berbagai struktur sosial yang ada sudah tidak kaget akan keberadaan media-media jejaring sosial tersebut. Bahkan entitas tersebut pun tidak mengenal kualifikasi umur penggunanya.
            Penggunaan media jejaring sosial ini secara masif dikalangan masyarakat menjadi senjata yang menjanjikan bagi elit-elit politik dalam usaha merebut simpati masyarakat. Para elit politik bisa dengan mudah berinteraksi dengan para konstituen mereka dengan lebih mudah. Aspirasi atau visi dan misi pun bisa dengan mudah pula tersampaikan, dan tentunya secara tidak langsung dapat memperhemat biaya kampanye. Pemenangan Jokowi-Ahok dalam pemilukada Jakarta misalnya, menggunakan media jejaring sosial online dalam suksesinya. Mulai proses deklarasi sampai pemenangan pemilu tim sukses beberapa diantara mereka hanya perlu duduk didepan komputer dan menjalankan strategi mereka melalui facebook dan twitter. Tidak hanya Jokowi-Ahok, dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat yang dimenangkan pasangan Obama-Bidden atas Romney-Ryan juga memanfaatkan jejaring sosial online pula. Obama menang telak atas Romney dan kandidat yang lain dengan memperoleh 50,5% suara. Sedangkan Romney berada di bawah Obama dengan 47,9% suara. Fenomena yang demikian jelas mengisyaratkan bahwa zaman post-modern benar-benar merupakan zaman cyber. Segala sesuatu sudah terfasilitasi dengan teknologi informasi ini, mulai pendidikan, roda perekonomian, sampai pada ranah politik. Setiap orang dapat dengan mudah terhubung dengan yang lain tanpa harus bertatap muka. Calon kandidat kepala daerah ataupun kepala negara dapat dengan mudah berinteraksi dengan masyarakat, mengambil simpati masyarakat, melakukan pencitraan hanya melalui media onine khususnya dan media-media lain secara umum.

Hidden Reality
Media berperan penting dalam proses dinamika perpolitikan Indonesia, entah itu bagi elit-elit politik ataupun masyarakat luas. Melalui media, tidak hanya media online, media apapun yang menjadi wadah atau sarana informasi massa, segala informasi dapat tersampaikan kepada masyarakat luas, termasuk didalamnya intrik-intrik politik. Melalui kebebasan pers sebagai salah satu representasi dari media pula, mununjukkan akan adanya proses demokratisasi di suatu negara. Dengan artian kebebasan dalam mengakses ataupun berekspresi dalam media, menyalurkan pendapat, gagasan, opini, kritikan pedas kepada pemerintah, merupakan salah satu ciri berjalannya proses demokrasi.
Akan tetapi, media pun juga mempunyai sisi-sisi gelap yang tidak semua orang dapat mengetahuinya dengan pasti apa isi dari sisi gelap tersbeut. Isi pemberitaan di media sangat tergantung pada apa yang sedang menjadi topik hangat di masyarakat. Sebelum itu, kesemua isi media yang tergantung pada apa yang menjadi topik hangat atau yang laris di masyarakat, sangat ditentukan oleh aktor-aktor media tersebut bermanuver, memoles berita sedemikian rupa, memilah berita yang sekiranya bisa menarik perhatian masyarakat. Eskalasi topik yang hangat dibicarakan dimasyarakat ditentukan bagaimana awak media memberitakan suatu peristiwa. Ada peristiwa tertentu yang sebenarnya tidak terlalu menarik perhatian masyarakat, akan tetapi oleh awak media peristiwa tersebut terus menerus dengan bertubi-tubi diberitakan, ada yang dibesar-besarkan beritanya, ada pula bagian berita yang ditenggelamkan.
Banyak peristiwa-peristiwa hukum dan politik yang sudah tidak lagi menjadi pembicaraan serius rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan negara. Peristiwa-peristiwa yang ditenggelamkan begitu saja oleh media yang memunculkan wacana-wacana baru. Mengutip salah satu pendapat teman seperjuangan dalam status facebook-nya, yang intinya bahwa media memainkan peran dengan menenggelamkan pemberitaan pembahasan RUU tertentu, yang seharusnya perlu untuk diketahui oleh publik dengan memunculkan pemberitaan yang lain yang sebenarnya secara prioritas dalam kaitanya dengan kehidupan bernegara, kurang penting.
Dengan demikian, peran media sangat besar dalam pembentukan opini publik, suksesi politik, mobilisasi masa, dan lain sebagainya. Sehingga dengan adanya media, akan muncul suatu realitas yang diketahui publik dan realitas yang ada di belakang, yang oleh publik tidak diketahui. Terminologi ini oleh Goffman dalam teori dramaturgi-nya dibahasakan dengan front stage untuk realitas yang diketahui oleh publik dan back stage untuk realitas yang tersembunyi. Media mempunyai peran besar untuk memunculkan atau tidak memunculkan realitas-realitas tersebut dihadapan publik.

Konsumen Media yang Cerdas
            Dinamika perpolitikan di Indonesia dengan ini, sedikit banyak, ada hubungan pengaruh dan mempengaruhi dengan media. Negara, partai politik, dan masyarakat sebagai bagian kecil dari proses politik, sangat memerlukan eksistensi media sebagai titik tengah dalam interaksi politik. Media setelah reformasi, gerakannya semakin bebas, bebas bermanuver, bebas memoles realitas yang didapatnya untuk disajikan kepada masyarakat. Dengan kebebasan media ini, tak ayal akan semakin memunculkan differensiasi atau varietas pemberitaan yang semakin beragam.
            Dengan posisi media dalam kancah politik terletak pada posisi yang sentral, membentuk opini publik, menebarkan wacana, memberikan suatu pencitraan, yang bisa jadi sangat beragam tersebut, dapat pula memunculkan interpretasi masyarakat yang beragam-ragam pula. Terlepas dari kemungkinan adanya sentimen subjektif setiap individu, masyarakat pun akan mempunyai penilaian terhadap fenomena politik yang terjadi melalui informasi yang disajikan oleh media. Ada media yang benar-benar menginformasikan realitas apa adanya. Ada pula media yang terlalu membesar-besarkan, dan lain sebagainya. Sehingga varietas pemberitaan media ini akan membuat pemahaman masyarakat semakin beragam pula. Masyarakat membutuhkan informasi yang benar dan valid atas atmosfer politik yang terjadi. Interpretasi dan pemahaman masyarakat penuh merupakan hak bagi masayrakat sendiri. Masyarakat bebas memberikan penilaian, dan pemahaman terkait fenomena tersebut.


            Sebagai konsumen media, setiap individu dan masyarakat perlu kiranya untuk tidak asal menelan atau mengkonsumsi informasi dari media begitu saja. Setiap individu dalam masyarakat perlu kiranya untuk benar-benar melihat dengan jeli informasi yang dikonsumsinya. Hanya berfokus pada satu media saja, tanpa memperhatikan media atau sumber yang lain, merupakan hal yang gegabah dalam mengkonsumsi informasi dari media, terlebih lagi informasi tersebut nantinya digunakan untuk memberikan penilaian. Karena dalam ilmu sosial dan politik, fenomena-fenomena tersebut bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Untuk itulah perlu setiap konsumen media harus cerdas dalam mengkonsumsi media, jangan hanya bertitik tolak pada satu media saja. Sumber informasi lain juga perlu dipertimbangkan dalam mencari informasi yang benar-benar komprehensif, dan tidak setengah-setengah.

Selasa, 13 Agustus 2013

TENTANG KONSEPSI

Oleh : Isra Yuda

Suatu hari terjadi perdebatan antara si A dan si B mengenai konsep mana yang akan dipakai dalam menyelenggarakan sebuah event. A mengatakan bahwa konsepnya-lah yang paling cocok dan sesuai untuk dipakai dalam event, namun si B menyangkal. B mengatakan bahwa konsepnya lebih bagus karena disesuaikan dengan kebutuhan serta tujuan yang ada. Konsep B mengedepankan esensi dibanding sekedar kreatifitas kosong semata seperti yang dibuat oleh si A. Maka mereka pun berdebat tiada henti tentang konsep siapa yang paling baik.

A terlebih dahulu menyerahkan konsepnya kepada atasan, namun si B, yang datang setelah A, menjelek – jelekkan konsep si A dihadapan atasan dan mencoba meyakinkan atasan untuk memakai konsep si B. Perdebatan berlanjut. Atasan yang jengkel karena ulah mereka berdua lantas diam sejenak dan mencoba mengulur waktu dengan mendengarkan ocehan mereka.

Setelah atasan merasa cukup dengan kesabarannya, ia lantas menghardik A dan B untuk diam dan mendengarkannya. Atasan mengatakan bahwa ia tidak akan menyetujui konsep siapapun sebelum A merubah konsepnya menyerupai konsep B, dan menyuruh B merubah konsepnya menyerupai konsep A. Perintah atasan membuat keduanya bingung.


Maka keluarlah mereka berdua dan saling bertatap tajam dan saling menjauh karena gengsi besar mereka. Maka ketika mereka berdua lelah karena saling menjauh sementara masing – masing mereka kesulitan untuk memperbaiki konsep sesuai perintah atasan, merekapun saling bertemu dalam keadaan rikuh.

Mereka sekuat tenaga memendam gengsi besar mereka. Amarah dan malu mereka tahan demi meloloskan ide masing – masing. Ketika mereka berdua akhirnya bertukar konsep dan saling membaca, akhirnya mereka tahu betapa banyak kekurangan konsep mereka berdua dan betapa konsep mereka saling melengkapi, dan bersegera memperbaiki konsep mereka masing – masing dengan meniru kelebihan konsep lawannya.

Hari berikutnya mereka menghadap atasan dan menyerahkan konsep mereka yang telah diperbaharui. Atasan yang melihat konsep masing – masing tahu bahwa pada akhirnya konsep mereka berdua akan serupa. Menyadari hal tersebut, atasan yang terkenal cukup bijak lalu bertanya, “Siapa yang lebih dahulu menemui siapa?”. Mereka berdua saling bertatapan, lalu A menjawab, B yang terlebih dahulu menemui saya. Atasan menjawab, “Maka konsep B-lah yang akan saya pakai!”.

A bertanya kepada atasan, “Mengapa konsep B yang dipakai padahal konsep kami tidak jauh berbeda?”. Atasan dengan tenang menjawab, “Bukan konsep sempurna yang saya cari, tapi kemauan hati untuk menyempurnakan-lah yang saya harapkan sebagai upaya mendekati kesempurnaan. B telah menunjukan upaya itu dengan terlebih dahulu memendam egonya untuk mencari konsep yang lebih baik. Meskipun pada akhirnya konsep kalian berdua sama, namun konsep B-lah yang akan saya pilih karena nilai lebih yang belum kamu miliki”.

Mendengar hal itu A mengerti dan berbesar hati untuk menerima keputusan atasan serta memberi selamat kepada B.

Konsepsi Membutuhkan Pijakan

Ketika kita hendak merumuskan kosepsi atau mencari suatu gagasan mengenai persoalan, banyak dari kita dengan mudahnya merumuskan hal itu bermodalkan pengetahuan dan pengalaman yang kita punya. Terkadang, karena mudahnya hal itu, kita lupa akan bagaimana mengoreksi kekurangan – kekurangannya. Banyak dari kita memuja pikiran sendiri karena merasa pintar dan berpengalaman. Kita tidak pernah tahu atau mau tahu tentang apa yang dipikirkan orang lain, karena kesombongan kita yang mengatakan bahwa kita lebih baik dari yang lain.

Gagasan yang kita punya kita anggap sempurna, paling cocok, paling unggul, paling baik, paling benar dan sebagainya. Kita tidak bisa terima kritik apapun meski itu berasal dari diri kita sendiri. sikap ini menutup upaya lebih dalam mendekati kesempurnaan yang sesungguhnya. Kita enggan bertanya atau meminta pendapat orang lain. kita memiliki gengsi intelektual yang tak tertahankan dimana kita mengganggap diri kita lebih pintar.

Bahkan saya sendiri (pengalaman pribadi) pernah merasakan hal tersebut, hingga mengakibatkan dampak buruk dalam segi pergaulan. Saya menyadari bahwa kemampuan kita merumuskan suatu konsep tidak akan pernah sampai pada kesempurnaan jika kita tidak membuka diri pada keterbukaan akan kesalahan yang ada. Semua orang bebas berpendapat, namun bukan berarti semua pendapat orang adalah benar.

Kita lupa, bahwa konsepsi yang kita miliki sejatinya adalah gagasan yang kita curi dari orang lain. dari mana kita mendapat pengetahuan terhadap suatu gagasan? Tidak mungkin tidak kalau kita mendapatkannya dari orang lain. kita bisa merumuskan konsepsi negara demokratis dari pemikiran Montesque atau Soekarno. Kita bisa merumuskan konsepsi diri dari buku para ahli psikologi. Kita bisa merumuskan konsepsi pendidikan dari Freire, dan lain sebagainya. Kita tidak pernah memulainya dari nol. Kita butuh pijakan untuk dapat merumuskan pijakan sendiri. kita butuh cermin untuk melihat gambaran baru. Bahkan terkadang kita bercermin pada alam untuk mendapat konsepsi tentang sesuatu.

Kesempurnaan Konsepsi

Mengunggulkan konsepsi diatas konsepsi lain merupakan pengkotakan pemikiran. Bahayanya hal ini bisa menimbulkan radikalisme pemikiran. Sejarah membuktikan betapa radikalisme pemikiran[1] membawa petaka hebat bagi banyak orang. Seperti halnya terjadi pada konsepsi orang – orang komunis mengenai negara. Demi terciptanya kondisi ideal yang mereka citakan, segala konsepsi atau gagasan lain yang dianggap salah dan bertentangan mereka habisi dengan brutal. Dampaknya, banyak jatuh korban dan permusuhan akibat dendam sejarah.

Perdebatan konsepsi memang diperlukan, karena hal tersebut merupakan bagian dari proses penyempurnaan. Namun mengedepankan ego dan menutup diri dari kritik adalah sikap yang membawa kita pada kebuntuan. Jika kita tidak mau menelanjangi pikiran, maka pikiran itu tidak akan terbuka dengan sendirinya dan akan terjadi stagnan yang mengakibatkan tertutupnya berbagai solusi dari setiap kekurangan yang selalu ada dalam setiap gagasan manusia.

Memiliki itikad untuk memperbaiki dan menawarkan solusi adalah baik dan harus dilakukan terus menerus, namun hasil yang dicapai harus disadari tidak akan pernah mencapai kesempurnaan sejati. Proses adalah hal terpenting yang menjadikan suatu konsepsi mendekati ksempurnaan. Untuk itu, sebuah konsepsi akan selalu diuji, dikaji dan diperbaiki. Sikap tertutup terhadap hal itu merupakan penyesatan. Seperti kisah yang penulis ceritakan diatas, keunggulan tidak terletak pada hasil yang kita capai, karena setiap hasil yang kita capai bersifat relatif, namun upaya mencapai hasil tersebutlah yang membuat kita selalu unggul. Keunggulan tersebut terletak pada upaya kita untuk selalu belajar.

Belajar bukan semata – mata mempelajari konsepsi orang lain demi hasil terbaik, namun belajar yang dimaksud adalah bagaimana kita membuka hati dan menumbuhkan kesadaran terhadap kekurangan. Dengan merasa kurang kita akan terus mendaki pada pencapaian terbaik. Merasa kurang berarti menyadari bahwa kita harus terus belajar. Belajar berarti melakukan upaya perbaikan secara mandiri. Kemandirian akan membawa pada kualitas. Kualitas adalah modal untuk mendapatkan penghargaan tertinggi.

Oleh karena itu, membuat konsepsi merupakan langkah yang urgent dalam mewujudkan perubahan, namun kita tidak boleh menutup pikiran dan hati dari kekurangan diri. Proses menuju kesempurnaan akan selalu dan harus terjadi tanpa henti, dengan begitu kita bisa semakin dekat dengan pembangunan kualitas perubahan terbaik.

Dikutip dari blog penulis dengan judul yang sama, “TENTANG KONSEPSI”, alamat web : http://israyuda.wordpress.com/2013/08/13/tentang-konsepsi/ 

Minggu, 04 Agustus 2013

MENULIS ADALAH SENJATA

Oleh : Ahmad Finchy Arifin

“tujuan seorang penulis, adalah menarik perhatian pembaca... yang saya inginkan agar pembaca menyimak setiap halaman dari buku yang mereka baca hingga akhir” (Barbara Thucman, Newyork Times, 2 Februari 1989)

Tulisan adalah sesuatu yang selalu mengiringi dan sangat berpengaruh dalam  kehidupan manusia, melalui tulisan ini lah manusia bisa menuangkan ungkapan isi hatinya dan kemudian membaginya pada yang lain. Di saat membaca dan membuat tulisan itu, kita akan merasakan berbagai hal mulai dari sedih, senang, bingung, terkejut dan sebagainya akan terasa saat membaca atau menulis sebuah tulisan. Menurut fakta tulisan sudah digunakan manusia jutaan tahun lalu, hal ini terbukti dengan adanya banyak tulisan-tulisan peninggalan dari jaman pra sejarah dan hal itu pun mempengaruhi perkembangan manusia pada berbagai bidang sesudahnya.

Ide Dapat Sangat Berpengaruh

Sebuah ide bisa sangat berpengaruh bagi perubahan, dalam novel gravis karya Alan Moore “V for Vendetta” yang kemudian di filmkan dengan judul yang sama pada  2006, dalam  cerita  dapat  terlihat jelas bagaimana sebuah ide/gagasan bisa sangat berpengaruh dalam menuju revolusi sosial.

Ada  salah satu dialog dalam  cerita yang menjadi favorit saya yaitu ketika tokoh V tanpa  gentar menerjang peluru-peluru pistol sambil berkata ke penembaknya: "Kau hendak membunuhku? Tak ada darah atau daging di balik jubah ini yang dapat dibunuh. Hanya  ada ide. Dan ide  tahan peluru."  (Vendetta, hlm. 236).

Kemudian dalam  potongan narasi prolog pada  awal film  menerangkan bahwa, “Kita  disuruh mengingat pemikirannya  dan bukan orangnya. Karena  manusia  bisa  gagal. Dia  bisa tertangkap, dia  bisa  terbunuh dan terlupakan. Tapi 400 tahun kemudian...sebuah pemikiran masih bisa mengubah dunia. Aku menyaksikan dari awal akan kedahsyatan sebuah pemikiran. Aku melihat manusia  membunuh dengan mengatas namakan pemikiran itu...dan mati karena mempertahankan pemikiran tersebut. Tapi kau tak  bisa  mencium  sebuah pemikiran...tak bisa menyentuh atau pun memegang pemikiran tersebut. Pemikiran tidak berdarah. Mereka tidak merasakan sakit”. Dalam  akhir cerita  V berhasil metransformasikan pemikiranya  pada  seluruh masyarakat Inggris, seluruh masyarakat Inggris akhirnya  dapat bersatu untuk menggulingkan pemerintahan reZim totaliter yg berkuasa saat itu.

Dari sini kita tahu bahwa betapa dahsyatnya sebuah ide, ide/pemikiran/gagasan itu kebal, tidak bisa dibunuh atau dihilangkan. Proses transformasi lah yang membuat ide  itu tetap ada. Bentuk transformasi ide  bisa melalui media  audio maupun visual, tetapi tulisan adalah salah satu bentuk transformasi ide  yang sangat efektif, karena siapapun juga pasti dapat melakukanya, selain itu tulisan dapat dibaca berulang kali sehingga penanaman ideologi itu akan semakin mendalam.

Tulisan terbukti dapat mempengaruhi kehidupan manusia dalam berbagai bidang, baik dalam  hal perkembangan teknologi, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Tulisan digunakan untuk berbagai hal dan keperluannya  dalam menjalankan roda  kehidupan. Seperti yang kita ketahui, ada 2 hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu membaca  dan menulis. Tulisan kita  gunakan untuk mengapresiasi ide  dan membaca  kita gunakan untuk mencari ide. Hal ini menjadi penting karena kita ingat saat duduk di bangku sekolah, membaca dan menulis adalah pelajaran yang pertama kali kita  dapat, ini membuktikan bahwa  membaca  dan menulis adalah kebutuhan pendidikan utama yang wajib.
Tulisan masih digunakan oleh manusisa di berbagai belahan dunia hingga kini. Tulisan mereka gunakan untuk berbagai hal antara lain sebagai sarana komunikasi, informasi, media sosialisasi, atau hanya sekedar sebagai seni karya pribadi. Namun, tak hanya berhenti di situ. Dalam berbagai sejarah perkembangan ternyata tulisan juga bisa dijadikan senjata yang sangat ampuh. Bergantung dari keahlian penulis meramu Isu, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam resep tulisanya yang kemudian dapat dibaca oleh individu lain, inilah faktor utama kenapa tulisan menjadi sangat berpengaruh dalam berbagai kehidupan.

Tulisan bukanlah senjata yang secara fisik dapat menghancurkan apa saja yang ada di hadapanya. Ibaratnya, jika  tulisan adalah racun, maka  banyak orang yang akan teracuni ketika  membacanya. Maka  jika tulisan itu adalah madu, maka akan membawa manfaat pula bagi yang membacanya.

Menulis adalah Melawan

Banyak penulis yang sepanjang hidupnya  sampai saat  ini masih dikenang karena  dari tulisan yang ia publikasikan mengakibatkan perubahan yang cukup terasa. Ambil contoh salah satu penulis sastra  terkenal William  Shakespeare  yang selama hidupnya  ia abdikan untuk menulis berbagai cerita  berupa  karya  sastra. Hingga  sekarang karya-karyanya  digunakan dan dibaca  oleh manusia  modern bahkan jauh setelah ia meninggal. Atau juga seperti Soe  Hok Gie  yang hingga  sekarang dikenang atas talentanya  dalam  menulis hingga dapat mempengaruhi iklim sosial dan politik bangsa kita.

Kita  mulai dari Soe  Hok Gie, adalah seseorang yang hidup pada  masa  orde  lama yang selanjutnya  menjadi tokoh penting dan mengambil andil dalam  pergerakan perubahan di Indonesia. Pada  masa  itu, terjadi pergolakan besar-besaran di Indonesia. Pemikiran Gie  yang terus bertumbuh kemudian ia  curahkan dalam rentetan catatan harian yang selalu setia menemaninya hingga 12 tahun lamanya. 12 tahun catatan harianya itu kini dirangkum dalam sebuah buku berjudul “Catatan Seorang Demonstran”. Selain itu, Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan, Gie merekam jejak pemikiranya dalam berbagai media cetak yang saat itu diharapkan bisa menyebar luaskan pemikiranya yang idealis dan juga realis, karena secara nyata Gie menjadi pion utama dalam  tonggak  awal pergerakan mahasiswa  yang mulai mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Hingga sekarang pun tulisan-tulisan Gie masih sangat kental pengaruhnya dalam pergerakan mahasiswa saat ini.

Selanjutnya  sastrawan dan penulis terkenal Pramoedya  Ananta  Toer (Pram), Pram  adalah penulis indonesia yang karyanya paling banyak dilarang beredar selama dua orde di masa kemerdekaan karena banyak karyanya yang mengkritiki pemerintah. Tercatat sekitar 20-an karya Pram yang diharamkan untuk beredar pada masa 1965 – 1995. Semakin banyak aturan, maka  semakin banyak pula pelanggaran, mungkin kalimat itu tepat digunakan dalam konteks ini. Karya-karya Pram yang merefleksikan perlawanan pada reZim justru kian diburu pembaca. Membaca dan mengkoleksi karya-karya Pram melambangkan perlawanan terhadap reZim.

Menulis sebaga Tradisi dan Ritual Intelektual

Sebagai mahasiswa, menulis adalah suatu keharusan. Menulis adalah suatu cara untuk kita melatih kembali daya ingat. Jadi akan sangat sia-sia kalau kita hanya meghafal berbagai teori dari A-Z tanpa kita menulisnya kembali. Menulis adalah cara  untuk menunjukkan eksistensi keintelektualan kita. Namun sayangnya  dalam lingkungan kampus saat ini budaya  menulis sangatlah rendah. Ini disebabkan karena  lebih berkembangnya budaya lisan. Lihat saja, kita lebih sering menemui mahasiswa yang merasa cukup dengan menjadi pendengar saja, mendengarkan ceramah dosen di kelas setelah itu sudah, materi akan dilupakan. Kemudian saat mendekati ujian, mulai pontang-panting mencari pinjaman catatan teman. Selain itu, tenaga  pengajar kita sepertinya  kurang memiliki komitmen  sebagai pengembang ilmu pengetahuan. Di kelas kita  lebih sering mendapatkan metode pengajaran satu arah, budaya lisan seperti itu telah membudaya dalam keseharian kita. Disini terdapat  sebuah temuan yang sama seperti Freire  (1967)  dalam  Pedagogy  of the  Oppressed, bahwa metode  pembelajaran yang digunakan pengajar di Indonesia  masih banyak  menggunakan model satu arah, model hafalan (banking)  dan minim  dialog antara  murid dan pengajar. Anton Novenanto seorang sosiolog Universitas Brawijaya  mangatakan dalam  bahasa  yang radikal  bahwa: anak-anak  Indonesia  dilatih untuk bungkam (!) ketika berada di ruang publik. Jadi, bukan mereka tidak bisa menulis, melainkan anak-anak telah dilatih untuk hening ketika  diminta  untuk mengekspresikan apa  yang dipikirkannya. Padahal jika  ilmu itu diibaratkan sebagai binatang buruan, maka membaca  adalah senjatanya  dan menulis adalah pengikatnya. Setiap manusia pastilah memiliki “rasa” (sense) untuk dibagikan kepada yang lain. perlu juga di sadari bahwa setiap manusia memiliki kemampuan akal – budi untuk memahami “rasa”-nya juga “rasa” yang lain (Habermas, 1990, Teknik dan Ilmu sebagai Ideologi). Menulis adalah salah satu cara mengungkapkan “rasa”. Manusia tidak akan menjadi manusia yang utuh jika dia tidak pernah melatih dirinya untuk mengungkapkan “rasa” dan belajar memahami “rasa – rasa” yang lain.

Untuk itu budaya menulis harus kita galakkan kembali, tidak usah dengan harapan yang terlalu muluk-muluk cukup dengan melalui komunitas/forum diskusi kecil akan tetapi punya kapasitas yang masif, sehingga output yang dihasilkan nanti bisa mempengaruhi orang lain untuk tergerak dalam menggalakan budaya menulis. Miris rasanya lorong-lorong kampus yang seharusnya nampak mahasiswa yang sedang berdiskusi tapi malah yang ada mahasiswa yang nongkrong sambil maen-game, dan juga tembok kampus yang seharusnya dihiasi karya, tulisan dan gagasan mahasiswa malah bertebaran iklan komersil. Kampus yang seharusnya digunakan untuk perang wacana dan beradu intelektualitas, yang ada malah perang politis demi kekuasaan semu. Kampus yang seharusnya  digunakan sebagai ruang untuk memperoleh pendidikan pada  kenyataanya  sekarang kampus hanya digunakan sebagai simbol gaya hidup semata.

Saya berharap nantinya menulis bisa menjadi candu bagi seluruh mahasiswa. Jika tulis-menulis telah menjadi bagian hidup seluruh elemen kampus serta didukung arpesiasi dari civitas akademik, dan juga berkomitmen tinggi untuk menjadikan kegiatan menulis menjadi tolok ukur kualitas dan keunggulan ilmu sebuah universitas, saya yakin mimpi untuk mewujudkan universitas kita bertaraf internasional akan terwujud cepat. Jika Rene Descartes terkenal dengan ”cogito er gosum” (aku berfiki,r maka aku ada)nya maka saya boleh bilang “aku menulis, maka aku ada”, itu berarti keintelektualan seseorang dapat ditunjukan lewat tulisanya. Bangkitlah para pelajar! Menulislah!. Orang idealis, kok tak menuangkan pemikiran ideologisnya dalam tulisan. Sungguh sayang!

Oiya, Saya menunggu tulisan-tulisan anda sekalian yang sedang membaca tulisan ini. Thnks. (fnchy)


*tulisan asli dimuat dalam Zine Komar #4 “Zine Media Alternatif”. Ditulis kembali dengan sedikit penambahan

MAHASISWA SEBAGAI PEMEGANG TONGKAT ESTAFET DIMASA DEPAN

Oleh : Anis Mubasyiroh

Dalam pidatonya Ir. Soekarno mengatakan: “Berikan aku seribu orang tua, maka akan aku pindahkan semeru dari akarnya. Dan berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia“. Dari kalimat tersebut, kita dapat memaknai bahwa betapa pentingnya peran pemuda sebagai generasi penerus yang memegang tongkat estafet dalam kurun waktu beberapa puluh tahun waktu kedepan.

Untuk menghadapi masa yang akan datang itu, pemerintah merancang sistem pendidikan sedemikian rupa agar menghasilkan output yang sesuai dengan apa yang menjadi harapan bangsa Indonesia terhadap kaum muda khusunya mahasiswa.
Mahasiswa dianggap sebagai kaum intelektual, para pemuda yang terdidik, serta terbentuk menjadi insan yang siap berperan di masa mendatang, dan akan menggantikan posisi penting dalam kehidupan ini. Mahasiswa benar-benar menjadi harapan tanah air Indonesia menuju ke arah yang lebih baik dari kondisi saat ini, harapan itu sangat besar. Harapan itu tidak akan muncul pada orang-orang yang tidak dapat dipercaya.

Sebagai orang yang telah dipercaya untuk memegang tongkat estafet bangsa Indonesia dimasa yang akan datang, kita harus benar-benar memanfaatkan kesempatan itu dengan sungguh-sungguh. Siapa lagi yang akan diamanahi jika kaum muda itu tidak sanggup  untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik dari seluruh aspek kehidupan ini.

Harapan yang besar itu tidak menjadikan seluruh mahasiswa sadar akan peran yang harus di emban selama menjadi mahasiswa. Dengan mengamati potret mahasiswa saat ini menunjukkan realitas yang berbanding terbalik dengan yang diharapkan, sehingga menimbulkan kekhawatiran.

Jumlah mahasiswa Indonesia saat ini sekitar 4,8 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru 18,4 persen. (kompas, 2011). Hal ini menunjukkan tidak banyak kesempatan yang dimiliki kaum muda untuk menikmati pendidikan di perguruan tinggi.

Mahasiswa sebagai motor penggerak perubahan. mahasiswa dikenal dengan jiwa pengorbanan yang tak kenal lelah mempertahankan idealismenya, yang lebih substansial lagi adalah mahasiswa mampu berada sedikit di atas kelas masyarakat karena dengan kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya sebagai insan yang menggunakan daya nalar yang tinggi dan kritis  terhadap berbagai persoalan terkait dengan kemajuan bangsanya.

Melihat potensi mahasiswa yang begitu besar, tidak sepantasnyalah peran mahasiswa yang hanya mementingkan kebutuhan pribadi saja. Melainkan harus tetap berkontribusi terhadap bangsa dan negaranya, bukan menjadi mahasiswa yang tanggung jawabnya hanya sebatas study oriented.

Pernah ada pengalaman selama mengadakan penelitian di sebuah pedesaan, yang masyarakatnya dapat dikategorikan menuju arah transisi dari segi pola berpikirnya. Ketika kita datang untuk mengadakan penelitian. Seorang kepala desa beserta perangkatnya langsung menyambut kita dengan penuh antusias dan sangat menghargai kehadiran kita.

Mereka berharap dengan status kita yang menjadi mahasiswa dapat mengubah keadaan masyarakat dengan permasalahan yang begitu kompleks, terutama di bidang sosial ekonominya. Mereka berpesan agar sungguh-sungguh selama menjadi mahasiswa, agar kelak sukses dan bisa membantu  masyarakat kecil seperti kita yang tak didengar aspirasinya.

Dari sini saya merasa sangat kecewa terhadap diri saya sendiri, karena belum menggunakan kesempatan selama menjadi mahasiswa dengan sungguh-sungguh, dan saya masih tergolong menjadi mahasiswa yang study oriented serta belum berkontribusi kepada masyarakat. Semoga dengan ini, kita bisa menjadi pembelajaran bagi kita, agar kita selalu instropeksi dan memperbaiki keadaan mahasiswa saat ini.

Kehidupan tidak bersifat statis, dengan mengamati realitas sosial saat ini merepresentasikan potret mahasiswa mengalami pergeseran nilai-nilai dan tujuan dalam belajar. Mahasiswa kini tak lagi idealis seperti dulu, yang memainkan perannya dalam belajar dan mengabdi pada masyarakat. Saat ini mahasiswa tidak menggunakan kesempatan belajar di perguruan tinggi dengan sungguh-sungguhh, yang lebih parah lagi adalah dan lebih mengutamakan kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup, dengan menghabiskan masa mudanya, uang ataupun materi hanya untuk  menuruti keinginan.

Kekerasan juga seringkali menjadi alternatif yang memang dirancang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Demikian juga dalam bidang ekonomi-politik, ketimpangan ekonomi yang melatarbelakangi masyarakat dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan mahasiswa. Ketika harga-harga sembako atau BBM naik, misalnya, segenap elemen mahasiswa merasa harus melakukan sesuatu untuk mencegah kondisi ekonomi di masyarakat semakin buruk. Namun dengan cara yang seperti itu yang terjadi hanyalah memperburuk keadaan, seperti perusakan, kerusuhan dan kekerasan yang dilakukannya.

Dalam perebutan kekuasaan di lingkungan internal mahasiswa, seperti Pemilu Raya (Pemira) di kampus, mahasiswa melakukan upaya mobilisasi di kalangan mereka untuk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Mobilisasi itu menggunakan taktik diantaranya dengan pemaksaan, ancaman, teror hingga kekerasan secara fisik.
Perilaku tersebut sangat tidak mencerminkan generasi muda yang diharapkan oleh bangsa Indonesia. Namun  tak semua mahasiswa seperti itu, masih banyak harapan untuk mahasiswa yang benar-benar mampu menggunakan kesempatan dalam belajar dan lebih peduli pada masyarakat seperti kita. Kita harus bisa menjadi mahasiswa yang berfungsi secara ideal, yaitu :

Agent of Change : Mahasiswa sebagai agen perubahan, yang mempunyai fungsi ideal, tidak hanya menggunakan ilmunya untuk dirinya sendiri. Namun, harus mampu mengajak dan memengaruhi orang-orang disekelilingnya untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik dalam segala hal melalui pemikiran dan daya kritisnya yang kuat.

Iron Stock : peran mahasiswa yang tak kalah penting adalah mahasiswa dengan ketangguhan idealismenya akan menjadi pengganti generasi-generasi sebelumnya, tentu dengan kemampuan dan akhlak yang mulia. Peran oraganisasi kampus dapat memengaruhi kualitas mahasiswa, dengan adanya kaderisasi dan penanaman nilai yang baik akan menjadikan kualitas mahasiswa yang siap untuk menggantikan peran penting dikehidupan mendatang. Selain itu, mempelajari kesalahan-kesalahan pada generasi masa sebelumnya adalah sangat penting, agar kedepannya dapat dijadikan evaluasi untuk pengembangan diri.

Social Control : Peran mahasiswa sebagai kontrol sosial terjadi ketika ada kebijakan pemerintah yang kontra dengan kehendak masyarakat luas. Mahasiswa dengan gagasan dan ilmunya memiliki peranan menjaga dan memperbaiki nilai dan norma sosial dalam masyarakat. Mahasiswa harus menumbuhkan jiwa sosial yang peduli pada keadaan rakyat yang mengalami penderitaan, ketidakadilan, dan ketertindasan. Kontrol sosial dapat dilakukan ketika pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang merugikan rakyat, maka dari itu mahasiswa bergerak sebagai perwujudan kepedulian terhadap rakyat.

Pergerakan mahasiswa bukan hanya sekedar turun ke jalan saja, melainkan harus lebih substansial lagi yaitu diskusi, kajian dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, sifat peduli terhadap rakyat juga dapat ditunjukkan ketika mahasiswa dapat memberikan bantuan baik secara moril dan materil bagi siapa saja yang membutuhkannya.

Moral force : kekuatan moral adalah fungsi yang utama dalam peran mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mahasiswa dalam kehidupannya dituntut untuk dapat memberikan contoh dan teladan yang baik dan benar bagi masyarakat luas. Karena mahasiswa adalah bagian dari masyarakat sebagai kaum intelektual yang memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Semoga kita termasuk kaum muda yang dapat memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya, bersungguh-sungguh dalam mengemban amanah. Hidup tidak untuk main-main, dan senantiasa berbenah diri untuk bangsa Indonesia yang lebih baik dan berdaya. Sesuai dengan Tuhan : “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Q.S. Al An’aam [6]: 3).

DARI HATI KE HATI UNTUK SOSIOLOGI: SUATU KEINDAHAN KONTEMPLASI EMPIRICAL STUDY

Oleh : Imamulhuda Alsiddiq

Berbicara mengenai sosiologi, banyak sekali makna yang tersirat maupun tersurat di dalamnya. Dari berbagai makna tersebut, beberapa ciri khas yang mencolok dari seorang sosiolog adalah seorang yang mahir berbicara ataupun menulis, seorang yang paham betul bagaimana melakukan penelitian sosial, seorang yang bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial manapun, seorang yang suka akan pergaulan, mampu menganalisa dan peka terhadap realitas sosial.

          Kuliah lapangan sepertinya dapat dikatakan menjadi wadah yang tepat untuk melatih setiap mahasiswa,  yaitu melatih kemampuan-kemampuan yang secara normatif harus dimiliki oleh seorang sosiolog. Kuliah lapangan, bukan merupakan kata yang asing lagi bagi mahasiswa sosiologi. Setiap mahasiswa yang sudah memilih jalan hidup untuk belajar di Sosiologi Unair, dalam sanubarinya sangat tertanam dengan kuat spirit-spirit kuliah lapangan, terlepas dari varietas kemampuan setiap individu yang berbeda-beda. Yang jelas kuliah lapangan merupakan darah daging bagi mahasiswa sosiologi. Metodologi penelitian, mulai dari teknis, sampai pada hal yang filosofis, dituntut agar dapat dikuasai dengan sebaik mungkin. Aplikasi seluruh kegiatan penelitian pun juga harus dikuasai secara komprehensif. Mulai dari perencanaan atau pre-penelitian, sampai pada pengolahan atau post-penelitian. Kesemuanya harus tersusun secara sistematis, dan mahasiswa sosiologi harus sangat paham akan hal tersebut.

        Karena penelitian sosial merupakan darah dan daging setiap insan sosiologis, nafas dari pujangga sosiologis, sudah sepatutnya sebagai seorang sociologist nantinya sangat paham betul bagaimana seharusnya melaksanakan sebuah penelitian. Saya ingin sedikit menceritakan bagaimana suasana hati saya, bagaimana isi sanubari saya berusaha untuk menyeruak keluar, terkait dengan kuliah lapangan, apa saja yang saya rasakan, dan tentunya seluruh mahasiswa mempunyai rasa masing-masing terkait kuliah lapangan ini. Secara khusus mungkin kuliah lapangan lah yang menjadi topik pembicaraan dalam tulisan ini, tapi sejatinya apa yang akan dibicarakan ini merupakan refleksi dari akumulasi pengalaman selama kuliah di sosiologi, mulai dari semester satu sampai pada semester akhir seperti yang sekarang saya jalani. Selama mengikuti perkuliahan, tanpa saya sadari ternyata sedikit demi sedikit, perlahan demi perlahan, ada pemahaman tertentu tentang realitas yang ada pada tataran mahasiswa sosiologi. Pemahaman tersebut hadir tanpa saya sadari, saya pun belum bisa memastikan apakah pemahaman yang tiba-tiba saja muncul di muka saya, tanpa permisi, itu benar adanya. Terlepas dari benar salahnya pemahaman ini, yang jelas pemahaman ini cukup membantu saya untuk mengungkap lebih jauh realitas yang sebenarnya melingkupi kita semua, saya sebagai mahasiswa sosiologi, dan pembaca sekalian, para sahabat seperjuangan saya, sahabat yang menempati sudut relung hati saya.

Hidup dengan Hidup: Reinterpretasi Hakikat Sosiologi
       Mengacu pada apa yang ditulis oleh Suyanto (2004) dalam bukunya “sosiologi teks pengantar dan terapan”, yang menjadi salah satu buku pegangan mahasiswa atupun pihak-pihak yang menaruh minatnya pada Sosiologi. Pada bab pertama buku tersebut disinggung mengenai bagaimana sebenarnya hakikat sosiologi itu. Secara umum dari segi hakikatnya, ilmu pengetahuan terdikotomikan menjadi dua kubu, yaitu ilmu pengetahuan sebagai ilmu murni, dan ilmu pengetahuan sebagai ilmu terapan. Suyanto (2004) kurang lebih menyatakan bahwa hakikatnya, sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang telah menempati kemapanannya dalam konstelasi pemikiran ilmu sosial, adalah ilmu yang memiliki dua sisi sekaligus, yaitu sosiologi sebagai ilmu murni, dan sosiologi sebagai ilmu terapan.

         Sebagai ilmu murni, sosiologi sebagaimana ilmu murni pada umumnya, yaitu bergerak dan menari demi perkembangan sosiologi itu sendiri. Sebagai ilmu terapan, sosiologi mempuyai andil besar untuk turut serta dalam proses pembangunan berkelanjutan, proses pembuatan kebijakan, rekayasa sosial dan lain sebagainya melalui rekomendasi-rekomendasi dari hasil-hasil kajiannya. Rekomendasi-rekomendasi ini tentunya perlu melalui proses-proses penelitian sosial yang sangat ketat. Sebuah korporasi misalnya, tanpa disadari institusi mereka dikepung oleh ribuan buruh yang sedang berdemo, para pendemo dengan bringasnya merusak segala infrastruktur korporasi tersebut. Apa yang terjadi pada korporasi tersebut merupakan objek kajian sosiologis, yang dari penelitian-penelitian sosial yang dilakukan oleh sosiologi, bisa memberikan suatu rekomendasi kepada direksi korporasi tentang apa yang seharusnya dilakukan agar dapat meredam amarah para karyawannya. Dan masih banyak lagi contoh sosiologi sebagai ilmu terapan.

     Sebenarnya apa yang sudah menjadi pemahaman para peminat sosiologi tentang bagaimana hakikat sosiologi sebagai ilmu murni ataupun terapan ini, merupakan suatu pemahaman yang klasik terhadap eksistensi sosiologi itu sendiri. Sosiologi secara de yure maupun de facto sudah barang tentu dengan pemaham di atas bahwa ilmu yang didapat dari belajar sosiologi ini akan melahirkan peneliti-peneliti sosial yang sangat berguna bagi banyak instansi/korporasi, dan yang terpenting adalah bermanfaat bagi bangsa dan negara. Dengan berbagai kemampuannya dalam memetakan realitas yang ada di sekelilingnya, kemudian membuat alur-alur penelitian yang sangat ketat dan sistematis, dan akhirnya akan memunculkan hasil-hasil penelitian yang dapat memberikan solusi kepada permasalahan tertentu, jelas merupakan nilai lebih yang didapat oleh insan yang mempelajari sosiologi ini.

      Out put sebagai seorang peneliti secara de yure memang dimiliki oleh seorang mahasiswa sosiologi nantinya. Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini, fakta dilapangan benar-benar menunjukkan bahwa tidak semua alumni sosiologi menjadi peneliti, tidak semua alumni sosiologi bisa menjadi seorang birokrat, tidak semua alumni sosiologi menjadi aktivis LSM, tidak semua alumni sosiologi menjadi seorang teknokrat, dan lain sebagainya. Yang intinya adalah ada beberapa alumni sosiologi yang sedikit berbeda jalan kariernya dari kareir yang sejatinya menjadi track bagi seorang sosiolog.

         Keberbedaan jalur sosiologi sebenarnya dengan jalur-jalur yang lain bukanlah menjadi persoalan yang harus diperdebatkan atau digunjingkan, bahkan bukan merupakan persoalan yang harus dipandang secara sarkastis. Dan penyebutan hal tersebut sebagai persoalan sebenarnya juga kurang cocok, karena hal tersebut bukanlah suatu persoalan. Keberbedaan tersebut merupakan hal yang sangat fungsional dan semua mahasiswa yang benar-benar terinternalisasi dalam hati dan sanubarinya nilai-nilai ke-sosiologi-an, maka ia akan bisa hidup, ia akan bisa berada dalam tipe masyarakat apapun, mulai masyarakat yang paling kiri, sampai pada masyarakat yang paling kanan, mereka akan bisa hidup bersama, selaras, dan seimbang. Ketika harus menjadi pegawai bank, seorang sosiolog bisa terlebur di dalamnya. Ketika harus menjadi seorang birokrat, seorang sosiolog, bisa menyatu dengan lingkungan sekitarnya, ketika harus menjadi seorang berandal pun, sosiolog bisa menempatkan diri sebagai seorang sosiolog (sociologist qua sociologist), yang mengerti dan memahami berbagai paradigma atau sudut pandang dalam melihat masyarakat, dan bagaimana mengaplikasikan variasi paradigma tersebut.[1]

         Hakikat sosiologi sebagai ilmu murni sekaligus ilmu terapan merupakan suatu hal yang tidak ada toleransi lagi, karena keberadaan kedua hakikat ini adalah tidak bisa tidak. Akan tetapi diantara kedua hakikat tersebut, di dalamnya terdapat hakikat dari suatu hakikat. Yaitu hakikat yang sifatnya lebih dalam, dan bisa dikatakan lebih suci. Yaitu bahwa sosiologi lebih dari ilmu murni maupun ilmu terapan, akan tetapi sosiologi adalah suatu nilai yang memberikan pelajaran kepada kita bagaimana untuk hidup, bagaimana hidup dalam kelompok, bagaimana hidup dalam masyarakat, bagaimana sosiologi ini benar-benar terinternalisasi dan termanifestasi menjadi salah satu armada hidup.

      Suatu contoh misalnya, beberapa waktu lalu, ada berita mengejutkan bahwa ada seorang nenek tua miskin, dan sangat kelaparan. Ia dengan sengaja mencuri dari sebuah korporasi hanya untuk sesuap nasi. Dan ternyata dalam usahanya untuk mengisi perutnya yang sedang kelaparan ini, nenek malang tersebut tertangkap dan di meja hijaukan. Terlepas dari bagaimana akhir cerita tersebut, seorang sosiolog apapun profesinya, seyogyanya bisa melihat realitas tersebut dari berbagai sudut pandang. Ada banyak sudut pandang yang menjadi perhatian dari sosiologi ini, dan sudah sangat mashur bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda. Sosiolog bisa melihat dan menyatakan bahwa nenek terseut salah dan harus dihukum karena mencuri. Akan tetapi sebagai seorang sosiolog, tidaklah hanya menggunakan satu paradigma saja. Masih ada paradigma lain yang bisa digunakan. Sosiolog, dengan paradigma yang lain, akan melihat dari sudut pandang yang berbeda. Nenek tersebut memang salah jika dilihat dari satu paradigma di atas, tapi ada hal-hal yang perlu dipahami lebih dalam kenapa nenek tersebut sampai-sampainya mencuri, yaitu hal yang tidak terlihat atau tidak nampak, tapi hal itu nyata adanya, dan inilah hal yang harus dipahami.

       Contoh lain pun juga dapat diketengahkan di sini. Malam keakraban misalnya, suatu ajang orientasi mahasiswa baru prodi sosiologi. Setiap ajang-ajang seperti ini, tentunya sangat membutuhkan kepanitiaan tertentu dalam melaksanakannya. Biasanya dua angkatan di atas mahasiswa baru mendapatkan kesempatan untuk menjadi penyelenggara acara tersebut. Ketika angkatan 2013 menjadi mahasiswa baru, angkatan 2011 lah yang menjadi panitia, begitulah kira-kira budaya yang ada di Sosiologi Universitas Airlangga. Setiap angkatan yang bertugas untuk menyelenggarakan acara MK ini, dari tahun ke tahun selalu terdapat kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Dari tahun ke tahun, selalu terdapat pro kontra di dalamnya. Dari tahun ke tahun pun, selalu ada konflik internal yang terjadi terkait penyelenggaraan MK ini, perbedaan pendapat selalu mengiringi proses penyelenggaraannya. Ada kelompok-kelompok yang sangat pro dengan adanya MK ini. Ada juga kelompok-kelompok yang pro pula tapi tidak sependapat dengan kelompok yang pertama, ada  kelompok yang benar-benar kontra, sehingga apapun keinginan dari kelompok yang pro, benar-benar tidak di gubrisnya, bahkan ada beberapa pihak yang sangat menentang kelompok pro. Sebagai sosiolog atau calon sosiolog, yang kebetulan menjadi aktor dalam kelompok-kelompok di atas, bisa memaksakan pendapatnya untuk dilaksanakan bersama, bisa juga memahami realitas yang terjadi di kelompok yang lain, dan lain sebagainya. Yang jelas seluruh pengetahuan, pemahaman, seluruh nilai-nilai sosiologis yang sudah dipelajari, seyogyanya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap insan sosiolog. Ajang MK (Malam Keakraban), dapat dijadikan miniatur untuk benar-benar menjadi sosiolog yang bisa menempatkan diri sebagai seorang sosiolog (sociologist qua sociologist).

         Kurang pantas kiranya jika seorang sosiolog tidak berlaku sebagai seorang sosiolog. Kurang pantas kiranya jika sosiolog menempatkan diri pada warna hitam maupun warna putih, karena ada yang menyatakan bahwa sosiologi adalah abu-abu, tidak memandang hitam, dan tidak memandang putih. Lantas apakah dengan nilai yang demikian bisa dijadikan patokan seorang sosiolog untuk membenarkan hal yang dianggap salah oleh khalayak? Abu-abu bukan berarti bebas untuk menjamah warna apapun, akan tetapi abu-abu di atas bermakna bisa menempatkan diri se netral mungkin agar dapat melihat realitas sebagaimana yang terlihat, yaitu apa adanya. Dengan menjadi abu-abu, maka ia dapat melihat hitam, ia pun dapat melihat putih, bahkan warna-warna yang lain.

          Singkatnya, hakikat sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, adalah ada pada bagaimana nilai-nilai sosiologi ini diterapkan atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, apapun warna kehidupannya, bagaimanapun rasa kehidupannya. Apapun nanti karier yang dijalani oleh mahasiswa sosiologi setelah lulus nantinya, nilai-nilai sosiologi yang sudah dipelajari sekian tahun lamanya dapat diterapkan dalam bentuk kehidupan yang bagaimanapun, dalam kondisi apapun. Apapun yang sudah dipelajari selama kuliah di jurusan sosiologi, nilai-nilai tentang struktural fungsional, nilai-nilai tentang teori konflik, nilai-nilai tentang teori-teori humanis, kesemuanya bisa diterapkan pada diri lingkungan sosial dimana sosiolog nanti hidup, dan tentunya pada diri sosiolog sendiri.

Kuliah Lapangan: Cerminan Dinamisasi Masyarakat
        Kuliah lapangan, merupakan makanan dan minuman sehari-hari insan yang mengenyam pendidikan di Sosiologi Unair. Ada kuliah lapangan perdana yang diberi nama oleh pendahulu kita dengan TIPSOS (Tipologi Sosial), dilanjutkan dengan SOSDES (Sosiologi Pedesaan). Ada juga Sosiologi Perkotaan, Metode Penelitian Kualitatif, Metode penelitian Kuantitatif, Stratifikasi Sosial, Sosiologi Kependudukan, CSR, dan banyak pekerjaan lapangan lainnya. Kata Lapangan sepertinya menjadi identitas tersendiri bagi Sosiologi. Untuk masalah Lapangan, bisa dikata mahasiswa sosiologi ahli dibidangnya. Mulai pengurusan perizinan, menyusun konsep, membuat strategi dan taktik, manajemen kelompok, dan lain sebagainya. Kuliah lapangan adalah entitas yang bernuansa seni, membutuhkan nalar dan daya seni tersendiri. Artinya untuk memahami secara betul, meresapi segala sesuatu terkait kuliah lapangan ini, perlu latihan berkali-kali layaknya seseorang yang ingin mahir bermain seni, latihanlah yang menjadi bumbu utamanya.

    Tipologi Sosial sebagai kuliah lapangan perdana bagi mahasiswa sosiologi unair, menyuguhkan berbagai pengalaman yang tiada tara rasanya. Setiap orang yang terlibat dalam kuliah lapangan ini dapat merasakan detik demi detik pengalaman yang sangat berarti tersebut. Awal pembentukan kelompok, menjadi pengalaman pertama di Tipologi Sosial ini. Kelompok menjadi identitas tersendiri dalam sosiologi. Sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan kelompok sosial, kelompok awal yang dibentuk kala Tipologi Sosial merupakan miniatur yang dapat dipakai untuk belajar memahami kelompok yang lebih besar. Paling tidak di sana setiap mahasiswa dapat belajar untuk hidup secara berkelompok, hidup di tengah-tengah masyarakat. Seperti apa yang tersirat dalam arti sosiologi itu sendiri, bahwa orang yang mempelajari sosiologi, seakan-akan dituntut untuk bisa hidup dan beradaptasi pada kelompok atau masyarakat macam apapun. Dan kelompok pada Tipologi Sosial ini menjadi miniatur awal untuk belajar akan hal tersebut. Belajar hidup berkelompok, hidup dalam masyarakat, belajar beradaptasi, belajar me-manage konflik yang terjadi dalam kelompok, belajar me-resolusi jikala ada konflik yang berpotensi merusak, belajar menghargai orang lain sebagai salah satu identitas seorang sosiolog nantinya, dan belajar-belajar yang lainnya. Yang intinya pengalaman adalah guru yang paling berharga dalam perjalanan hidup setiap orang, dan melalui Tipologi Sosial itulah setiap mahasiswa belajar berkelompok melalui suatu pengalaman.

    Setelah Tipologi Sosial, mahasiswa kemudian dihadapkan dengan kuliah lapangan selanjutnya yang berjudulkan Sosiologi Pedesaan. Tidak hanya Sosiologi Pedesaan, kuliah lapangan pun menjadi identitas dari beberapa matakuliah di hampir setiap semester di Sosiologi. Hampir setiap semester rasanya kurang pas jika Sosiologi tidak menyelenggarakan kuliah lapangan. Dan berkelompok menjadi ciri khas tersendiri dari kuliah lapangan Sosiologi. Kenapa harus berkelompok? Sebagaimana yang sedikit disinggung di atas, bahwa setiap tugas yang dikerjakan secara kelompok, terlebih lagi tugas yang mengatasnamakan kuliah lapangan, merupakan cerminan atau miniatur dari masyarakat yang lebih besar. Di setiap masyarakat, apapun itu, tidak akan pernah terlepas dari yang namanya dinamika. Setiap orang mempunyai kapasitas masing-masing, setiap orang mempunyai intelegensia, sikap mental, persepsi, nilai yang dianut, pengalaman, pemahaman yang berbeda-beda. Keberbedaan pemahaman dan lain sebagainya tersebut tidak jarang akan menimbulkan suatu gesekan atau persinggungan tersendiri. Mengutip apa yang menjadi buah dari pemikiran seorang filusuf Thomas Hobbes bahwa “homo momini lupus”, manusia adalah srigala bagi sesamanya, keadaan ini nantinya akan mendorong adanya “bellum omnium contra omnes” perang semua melawan semua. Sudah wajar kiranya dalam kelompok terdapat suatu perselisihan, karena selain sebagai wujud dari perbedaan setiap anggotanya, pertikaian tersebut sepertinya merupakan salah satu wujud dari adanya manusia itu sendiri. Oleh karena itulah setiap orang dituntut untuk bisa beradaptasi dengan situasi macam apapun, akan tetapi tidak semua orang dapat melakukannya. Dan di Sosiologi, melalui kelompok-kelompok semacam itu misalnya setiap mahasiswa diajari secara tidak langsung mengenai bagaimana hidup di dalam masyarakat nantinya. Karena itulah dapat dikatakan bahwa kuliah lapangan melalui tugas-tugas kelompoknya merupakan cerminan dari masyarakat yang lebih besar.

      Selain itu, sebagai seorang sosiolog minimal harus memprektekkan apa-apa pengetahuan yang telah didapatkan dalam kuliah, di kehidupan sehari-harinya. Nilai plus yang dimiliki oleh mahasiswa sosiologi selain belajar mengenai hard skill, soft skill dan life skill dalam kuliah lapangan, mereka juga bisa mempraktekkan segala teori-teori sosial yang telah dipelajarinya dalam kelompok-kelompok semacam itu, kelompok kuliah lapangan misalnya. Kelompok-kelompok yang semacam itulah, atau dalam moment-moment apapun yang di dalamnya terdapat dinamisasi layaknya dinamisasi yang terjadi di masyarakat, dapat digunakan sebagai ajang untuk mempraktekkan ilmu yang telah didapat. Teori-teori yang telah dipelajari sedemikian rupa dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk mengkaji kelompok-kelompok kecil yang ada di sekelilingnya, terlebih analisa tersebut dapat membuahkan hasil sehingga dapat diketemukan solusi pemecahannya. Inilah kenapa kita harus patut untuk bersyukur bisa dibesarkan di Sosiologi.




[1] Untuk pemahaman lebih holistik dan mendalam lagi, silahkan baca buku hand book of qualitative research karangan Denzin and Lincoln yang di dalamnya diterangkan mengenai berbagai macam perspektif dalam melihat realitas sosial. baca juga buku karangan Hanneman Samuel yang secara ringkas dan lugas mensintesakan dua perspektif yang saling bertolak belakang menjadi satu, yakni perspektif fakta sosial/positivisme dan perspektif definisi sosial/konstruktivisme.

PERMASALAHAN EKONOMI DI INDONESIA

Oleh : Ika Setya Yuni

Di era modern ini, banyak negara di berbagai belahan dunia mengalami depresi ekonomi sejak tahun 2008. Terutama negara – negara maju di benua eropa, salah satunya yang masih “ segar ” ialah Yunani, Italia dan Spanyol yang mengalami kekisruhan cukup parah sehingga membuat negara merugi dan ketidakstabilan ekonomi. Akibatnya menghasilkan pengangguran yang cukup tinggi. Keadaaan seperti itu juga melanda Perancis, Jerman bahkan Amerika Serikat, namun terasa kurang rasanya kalau membicarakan negara dunia pertama tanpa mengikutsertakan negara dunia ketiga atau negara berkembang seperti Filipina, Meksiko, Ukraina, Malaysia, Brunei Darusallam, Brazil, Argentina dan tentunya, Indonesia. Sebagai pemuda penerus bangsa kurang pantas rasanya kalo tidak membubuhkan analisis mengenai permasalahan Indonesia, khususnya sektor ekonomi.

Awal mula ditengarai dengan penandatanganan AFTA ( Asean Free Trade Area ) dan APEC ( Asean Pasific Economy Corporation ) Indonesia masuk dalam jajaran negara di Asia yang mengikuti sistem perdagangan bebas yaitu ditiadakannya sekat perdagangan yang membebaskan negara – negara anggota leluasa mengekspor tanpa adanya campur tangan pemerintah. Mereka bebas masuk dan menjelajah sampai lorong – lorong lini terkecil dalam masyarakat. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat kelabakan tak siap mental serta modal, hingga akhirnya banyak pedagang lokal yang harusnya potensial justru gulung tikar. Alhasil maraklah produk – produk luar negeri yang menjamur di pasaran, mulai dari produk dapur, stylist hingga kecantikan. Namun pemerintah seolah kurang tanggap dengan hal itu dan berkelit dengan alasan perekonomian Indonesia tumbuh 6% selama kurun waktu 4 tahun terakhir dan diramalkan lambat laun akan mengungguli perekonomian China. Akankah itu terjadi? Sepertinya perlu perbaikan dalam banyak hal untuk mewujudkannya. Ditengah krisis sosial yang melanda Indonesia saat ini jelas itu tidak mudah, namun bukan berarti tak ada peluang asalkan pemerintah, pemilik modal serta masyarakat konsisten terhadap tujuannya.

Menilik kembali permasalahan yang tak kunjung usai, berawal dari sejarah ketika tahun 1945-1950 pasca kemerdekaan, kondisi ekonomi keuangan masa itu amat buruk. Hal itu disebabkan oleh laju inflasi yang sangat tinggi, juga beredarnya mata uang yang lebih dari satu. Saat itu pemerintah menetapkan tiga mata uang yang berlaku di Indonesia yaitu De Javasche Bank, mata uang Hindia – Belanda dan mata uang Jepang. Kedua tahun 1950 – 1957 yang dikenal dengan masa liberal dimana seluruh kegiatan politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip liberal. Merujuk pada mahzab – mahzab klasik Laiszez Faire Laissez, seluruh kegiatan perekonomian diserahkan kepada pasar. Padahal kala itu rakyat pribumi masih tertinggal jauh dibanding non pribumi, terutama peranakan Belanda juga pedagang – pedagang dari China. Kondisi tersebut kian memperparah Indonesia. Selanjutnya di masa 1961 – 1967, banyak sekali pergantian kabinet Indonesia, sehingga mengakibatkan sistem sosial, politik dan ekonomi berubah – ubah yang berujung pada permasalahan – permasalahan baru. Tembakan terparah bagi Indonesia ialah tahun 1997, dimana krisis moneter di Indonesia meyebabkan kisruh berkepanjangan, pabrik – pabrik bangkrut, pengusaha gulung tikar, jumlah pengangguran membludak, rupiah anjlok, angka kriminalitas meningkat dsb. Alhasil kebijakan yang selama ini dicanangkan dan dilaksanakan hanya menambah permasalahan – permasalahan baru yang kerap kali membuat RI compang – camping dilanda krisis. Lalu bagaimana solusi yang ditawarkan untuk perbaikan Indonesia?

Pertama disini saya akan menyoroti masalah paling pokok, belajar dari pengalaman 1997 – 1998. Adanya konsistensi sistem pajak untuk berbagai kaum atas, menengah dan kebawah. Selama ini kita tahu, pajak sebagai motor penggerak perbaikan infrastruktur negara mengalami kemandekan dikarenakan mangkirnya para pembayar pajak dengan berbagai alasan. Belum lagi kelonggaran – kelonggaran yang diterima oleh pengusaha membuat rutinitas pajak seakan berhenti begitu saja. Kedua, diterapkannya kemandirian pengambilan keputusan secara ekonomi. Semenjak krisis 1998, Indonesia sangat bergantung pada dana IMF ( International Monetery Fund ). Segala kebijakan dan keputusan Indonesia kala itu juga berdasarkan perintah IMF. Akibatnya sampai sekarang Indonesia masih harus terus membayar hutang pada IMF. Seperti kehilangan jati dirinya, Indonesia terus menuruti permintaan IMF. Sebenarnya situasi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi yang dialami negara – negara Asia Timur lainnya, Jepang, Korea Selatan, China dan Taiwan. Memang dalam hal diplomatis mereka sangat intens berhubungan dengan negara – negara barat, namun untuk menentukan kebijakan ekonomi negaranya mereka sangat mandiri.


Dahulu sekitar tahun 1967  pendapatan perkapita negara – negara di Asia hampir semua sama. Indonesia secara sosial – ekonomi sejajar dengan GNP Malaysia, Thailand, Taiwan dan China, berkisar kurang lebih USS 100 per kapita. Setelah 40 tahun perkembangan perkapita negara – negara tersebut sangat mencolok, Indonesia USS 1.100, Malaysia USS 4.520, Korea Selatan USS 14.000 , Thailand USS 2.490, Taiwan USS 14.590, China USS 1500. Ditarik kesimpulan bahwa meskipun saat itu Indonesia memiliki banyak  lulusan Berkeley ( Universitas terkemuka di AS ) namun mereka tidak mampu mengubah system ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Padahal untuk meningkatkan ekonominya Indonesia memiliki SDA yang melimpah, namun karena kurangnya kepercayaan diri pemerintah saat itu, Indonesia hanya menjual SDA kepada asing dan mengeksploitasinya secara berlebihan tanpa mau mengolahnya sendiri. Kemudian secara terus – menerus untuk melakukan pembangunan infrastruktur Indonesia menggunakan utang luar negeri sebagai penopang utama. Kondisi itu lain halnya dengan proses kemajuan negara - negara Asia Timur lainnya. Mereka menggunakan strategi industrialisasi, ekspor dan peningkatan kualitas produktivitas tenaga kerja dan daya saing nasional. Alhasil meskipun membutuhkan perjuangan panjang, mereka mampu membangkitkan ekonomi mereka dan kini secara perlaha mulai menggeser posisi Amerika sebagai negara adidaya. Hal seperti itu harusnya juga perlu dicontoh oleh Indonesia, jangan lagi bergantung pada utang luar negeri ataupun belas kasihan dari IMF. Mulailah berkembang mandiri dengan memperbaiki sektor mikro serta meningkatkan produktivitas tenanga kerja. Ditengah populasi penduduk yang luar biasa melimpah, tidak sulit bagi Indonesia untuk mencari tenaga kerja dan tentunya juga harus dibekali pembinaan dan ekstra pelatihan kewirausahaan, pengembangan diri serta pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Dari situlah diharapkan adanya spesialisasi pembagian kerja yang secara efisien mampu mengurangi deru pengangguran dan secara perlahan Indonesia mampu menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi paling baik di dunia.

MENULIS ITU SENI, TERAPI DAN SEGAR

Oleh : Ika Setya Yuni

Setiap orang memiliki cita rasa tersendiri, itulah menulis. Kita  mampu melihat keindahan dari sudut pandang yang berbeda. Bagai mozart yang mengalun diantara tuts – tuts piano, setiap  nuansa memberi arti yang mendalam. Menulis tak hanya sekedar mengukir, ada pemaknaan yang tersirat dalam sebuah karya seni.

Seorang teman pernah berkata padaku “ Menulis dapat dijadikan obat, untuk terapi menempa diri, memahami apa yang ada dalam diri kita. Menulis juga dapat mengenalkanmu pada dunia lain yang disebut imaginasi. Dari situlah kamu akan berproses.”

Akhirnya aku mulai menulis tapi naas, sungguh mengerikan. Tulisanku begitu buruk, karyaku tak layak untuk dibaca. Lalu aku bertanya pada diriku sendiri. Kenapa menulis begitu sulit? Kenapa hanya aku yang tidak bisa? Karya pertamaku sungguh tak sanggup kutunjukkan pada orang lain. Kemudian seperti ada yang berbisik, orang itu berkata “ Menulislah, apapun yang ingin kau tulis. Kalau karyamu bagus, kamu bisa menjualnya. Kalo jelek, saat kamu terkenal nanti, pasti bisa menjadi bagus. Itu tandanya kamu berproses.”


Aku kembali menulis, meskipun harus jatuh, tergelincir, terjebak dan terperosok. Namun satu pelajaran yang kuperoleh. Menulis membuatku bisa menyepi, sedikit menepi dari rutinitas yang kadang begitu melelahkan. Membantu ku menemukan dunia baru, tenggelam bersama dunia tafsir dan kenyataan. Menulis membuatku mampu menemukan titik kebangkitan dalam diri. Bagai gemericik air yang jatuh perlahan ditemani aroma lilin dan semilir angin yang berhembus, begitu menyegarkan. Itulah terapi. Terkadang dalam hidup, kita memerlukan hal – hal seperti ini agar tak terlalu tegang dalam menjalani fase kehidupan.

Sabtu, 03 Agustus 2013

KEPADA SENJA

Oleh : Ika Setya Yuni A.

Telah habis kata, aku berdiam diri. Membisu di ruangan sesak berukuran 3 x 4 ini. Klausterphobia yang melandaku tak kuhiraukan lagi. Mataku memusat memandangi bias wajah tirus, pucat dengan nafas tersengal terpantul dari cermin usang tak layak pakai. Entah kapan cermin itu akan terjatuh dan mengenai telapak kakiku. Aku tak peduli, persetan dengan cermin itu.

Dalam gelap kupandangi diriku sendiri. Buruk dan mengerikan. Aku sudah terlalu kotor. Darah yang mengalir dalam tubuhku ini, sungguh jijik aku untuk melihatnya. Kusebut diriku manusia, namun kulakukan hal – hal keji melebihi yang kau bayangkan.

Ku kotori tanganku dengan belati tajam berbaur mata penuh dendam. Sungguh menggelikan, siapakah diriku? Serigala? Harimau? Mungkin melebihi itu. Siapa yang tega menancapkan pisau di dada Ibunya sendiri? Itulah aku. Mereka memanggilku, Senja.

MAHABBAH TULISAN

Oleh : Imamulhuda Alsiddiq

            Jika ditanya kenapa saya menulis? Saya akan menjawab bahwa jika mayat bisa diawetkan dengan formalin, maka pemikiran bisa diawetkan dengan tulisan. Melalui tulisan, gagasan dan  ide saya bisa lebih mengenang. Bagaimana mungkin seorang perempuan jelita bisa terbayang-bayang lelaki pujaannya tanpa kenal waktu, jika ia tidak jatuh hati padanya, dan bagaimana mungkin ide dan gagasan kita bisa hinggap menerkam imajinasi orang lain jika tidak ditransformasikan, dan instrumen tulisan-lah yang sangat mungkin untuk melakukan hal tersebut.

Transformasi ide dan gagasan dapat melalui media apapun. Audio visual, tatap muka, atau yang sedikit berbau mistik, melalui mimpi, dan lain sebagainya, akan tetapi tulisan adalah entitas yang dapat dibaca berulang-ulang, sehingga transfer ide, gagasan, ilmu dan pengetahuan dapat berlangsung semakin tajam. Ide tidak mudah sirna dengan tulisan, gagasan tidak mudah hilang dengan tulisan, ilmu tidak menjadi semu, dan pengetahuan tidak hanya jadi angan.

            Sebenarnya menulis tidak jauh berbeda dengan hobi-hobi insan lainnya. Menulis tidak jauh berbeda dengan menyanyi, menulis tidak jauh berbeda dengan bermain musik, menulis-pun tidak jauh berbeda dengan bermain bola. Apa yang membuat mereka tidak jauh berbeda? Yakni pada proses untuk mendapatkannya. Prosesnya hampir sama, yaitu sering-sering berlatih.

Menulis merupakan kombinasi dari kemampuan kognitif dan kemampuan psikomotorik. Meskipun demikian kemampuan psikomotorik-lah yang paling mendominasi untuk membangun kemampuan menulis. Tanpa adanya latihan, latihan dan latihan, mencoba, mencoba dan mencoba, mustahil kemampuan menulis bisa terbangun dengan baik. Oleh karena itulah tidak salah jika salah satu senior saya menyatakan bahwa belajar menulis bak belajar menggayuh sepeda. Bukan teori yang ditekankan, melainkan coba dan mencoba.

Ketika kecil, kita tentu sangat ingat betul bagaimana kala itu kita belajar bersepeda. Kaki kecil nan imut kita belajar menggayuh sepeda ketika itu, naek dan ternyata terjatuh. Tak pantang menyerah, kita pun mencoba lagi. Sekian banyak kita mencoba sekian banyak pula kita terjatuh ketika itu. Tapi bukan kita namanya kalo pantang menyerah. Sampai akhirnya kita bisa menggayuh, dan sepeda kecil yang berbunyi “ngek ngek ngek” itu pun bisa kita kendarai dengan mulusnya. Tapi sepertinya laju sepeda masih terlihat tak beraturan, senggol kanan dan sengol kiri. Jangan khawatir, itu merupakan permulaan yang baik, sampai akhirnya kita bisa menggayuh sepeda dengan baik, sepeda gayuh itu pun akhirnya bisa berjalan aduhai.

            Layaknya belajar bersepeda, belajar menulis pun demikian, berawal dari keinginan yang sangat sulit untuk membangunnya, berlanjut membuat prosa dan menentukan diksi-diksi yang cantik, sampai pada tulisan yang utuh, kita pasti mengalami proses jatuh bangun, sampai pada akhirnya bisa berdiri tegap dan benar-benar meyakinkan. Jangan berhenti ketika engkau jatuh, dan jangan putus asa ketika engkau sakit. Kata kuncinya ada pada coba, coba dan coba.

Mengawali menulis tidak selalu membuahkan hasil yang baik. Kritik dan saran dari pihak lain sangatlah dibutuhkan untuk membuat kemampuan menulis kita bisa terasah dengan baik. Oleh karena itu mari kita semua berkumpul dan berhimpun pada satu wadah dalam upaya saling mengisi, saling bertukar pengetahuan, kemampuan, keahlian dalam segala hal terutama menulis. Melalui wadah ini mari kita bentuk sociowriter-sociowriter selanjutnya dalam bingkai kekeluargaan.

Kemampuan-kemampuan yang sangat bervariasi dan heterogen, berkumpul menjadi satu dan saling bertukar akan menghasilkan individu ataupun komunitas yang khas dan skillable. Pelangi dikatakan indah karena terdiri dari berbagai warna, dan komunitas dikatakan indah dan kuat jika terdiri dari berbagai variasi skill yang dihiasi dengan sikap saling mengisi. SELAMAT MENCINTAI TULISAN, SELAMAT SALING MENGISI, SEMANGAT PENA, DAN SALAM SOCIOWRITERS.

Jumat, 02 Agustus 2013

MENULIS : KEMERDEKAAN

Oleh : Nisya' Tri Yolanda

            Menulis, tak dapat dipaksakan.

Sesuatu yang ketika kau ingin melakukannya maka kau pasti melakukannya. Sebaliknya ketika kau tak sedang bergairah untuk menjamah alat tulismu maka kau juga takkan melakukannya. Menulis butuh keikhlasan. Karena hanya dengan keikhlasan, kau dapat membuat rangkaian huruf dingin nan bisu menjadi hidup. Mereka berbicara, menangis, tertawa, marah atau bahkan dapat menjelma hangat layaknya beberapa tangkai bunga krisan yang baru saja kau seduh ke dalam sebuah cangkir tua milik nenekmu, yang kau hirup aromanya, kau hisap pelan-pelan hingga terasa sampai ke hati.

            Menulis, rencana yang akan selalu meleset.

Ketika kau ingin menulis tentang “dia” nyatanya jemarimu malah menari lincah menorehkan sajak tentang “dia yang lain”. Kau takkan tahu bagaimana jadinya tulisanmu nanti, apa yang kau pikirkan di awal pasti berbeda dengan apa yang dihasilkan hati melalui tangan-tangan pasrahmu itu.

Menulis adalah kebebasan.

Menulislah seperti kau sedang mandi, lucuti semua tabir yang menutupmu. Seperti itulah menulis. Sesederhana kau melakukan apapun di kamar mandi; tak seorang pun dapat melarangnya. Menulislah seperti kau sedang berbicara dengan dirimu sendiri dalam lamunan. Ide hanya akan jadi bangkai, membusuk, karena tak kau ijinkan ia menghirup nafas kehidupan.


Menulislah, jaga kemurnian pikir serta perasaanmu, juga perasaan mereka yang ingin menulis. Karena tiada satupun kemerdekaan hakiki di dunia ini kecuali mereka yang dapat berdiri di atas pikiran dan perasaannya sendiri. Ketika kau berbeda pengertianpun – tentang menulis – dengan orang lain, maka kau hanya perlu memberi kelapangan bagi kebebasan berpikir mereka; kau benar-benar tak harus sepemikiran dengan mereka; kau hanya perlu seperasaan: perasaan saling membebaskan. Berdamailah dalam perasaan saling membebaskan. Di situlah kemerdekaan terjadi.
 

Daftar Blog Saya