Oleh
: Imamulhuda Alsiddiq
Berbicara mengenai sosiologi, banyak sekali makna
yang tersirat maupun tersurat di dalamnya. Dari berbagai makna tersebut,
beberapa ciri khas yang mencolok dari seorang sosiolog adalah seorang yang
mahir berbicara ataupun menulis, seorang yang paham betul bagaimana melakukan
penelitian sosial, seorang yang bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial
manapun, seorang yang suka akan pergaulan, mampu menganalisa dan peka terhadap
realitas sosial.
Kuliah lapangan sepertinya dapat
dikatakan menjadi wadah yang tepat untuk melatih setiap mahasiswa, yaitu melatih kemampuan-kemampuan yang secara
normatif harus dimiliki oleh seorang sosiolog. Kuliah lapangan, bukan merupakan
kata yang asing lagi bagi mahasiswa sosiologi. Setiap mahasiswa yang sudah
memilih jalan hidup untuk belajar di Sosiologi Unair, dalam sanubarinya sangat
tertanam dengan kuat spirit-spirit kuliah lapangan, terlepas dari varietas
kemampuan setiap individu yang berbeda-beda. Yang jelas kuliah lapangan
merupakan darah daging bagi mahasiswa sosiologi. Metodologi penelitian, mulai
dari teknis, sampai pada hal yang filosofis, dituntut agar dapat dikuasai
dengan sebaik mungkin. Aplikasi seluruh kegiatan penelitian pun juga harus
dikuasai secara komprehensif. Mulai dari perencanaan atau pre-penelitian,
sampai pada pengolahan atau post-penelitian. Kesemuanya harus tersusun secara
sistematis, dan mahasiswa sosiologi harus sangat paham akan hal tersebut.
Karena penelitian sosial merupakan
darah dan daging setiap insan sosiologis, nafas dari pujangga sosiologis, sudah
sepatutnya sebagai seorang sociologist
nantinya sangat paham betul bagaimana seharusnya melaksanakan sebuah
penelitian. Saya ingin sedikit menceritakan bagaimana suasana hati saya,
bagaimana isi sanubari saya berusaha untuk menyeruak keluar, terkait dengan
kuliah lapangan, apa saja yang saya rasakan, dan tentunya seluruh mahasiswa
mempunyai rasa masing-masing terkait kuliah lapangan ini. Secara khusus mungkin
kuliah lapangan lah yang menjadi topik pembicaraan dalam tulisan ini, tapi
sejatinya apa yang akan dibicarakan ini merupakan refleksi dari akumulasi
pengalaman selama kuliah di sosiologi, mulai dari semester satu sampai pada
semester akhir seperti yang sekarang saya jalani. Selama mengikuti perkuliahan,
tanpa saya sadari ternyata sedikit demi sedikit, perlahan demi perlahan, ada
pemahaman tertentu tentang realitas yang ada pada tataran mahasiswa sosiologi.
Pemahaman tersebut hadir tanpa saya sadari, saya pun belum bisa memastikan
apakah pemahaman yang tiba-tiba saja muncul di muka saya, tanpa permisi, itu
benar adanya. Terlepas dari benar salahnya pemahaman ini, yang jelas pemahaman
ini cukup membantu saya untuk mengungkap lebih jauh realitas yang sebenarnya melingkupi
kita semua, saya sebagai mahasiswa sosiologi, dan pembaca sekalian, para
sahabat seperjuangan saya, sahabat yang menempati sudut relung hati saya.
Hidup dengan Hidup: Reinterpretasi
Hakikat Sosiologi
Mengacu pada apa yang ditulis oleh
Suyanto (2004) dalam bukunya “sosiologi teks pengantar dan terapan”, yang
menjadi salah satu buku pegangan mahasiswa atupun pihak-pihak yang menaruh
minatnya pada Sosiologi. Pada bab pertama buku tersebut disinggung mengenai
bagaimana sebenarnya hakikat sosiologi itu. Secara umum dari segi hakikatnya,
ilmu pengetahuan terdikotomikan menjadi dua kubu, yaitu ilmu pengetahuan
sebagai ilmu murni, dan ilmu pengetahuan sebagai ilmu terapan. Suyanto (2004)
kurang lebih menyatakan bahwa hakikatnya, sosiologi sebagai ilmu pengetahuan
yang telah menempati kemapanannya dalam konstelasi pemikiran ilmu sosial,
adalah ilmu yang memiliki dua sisi sekaligus, yaitu sosiologi sebagai ilmu
murni, dan sosiologi sebagai ilmu terapan.
Sebagai ilmu murni, sosiologi
sebagaimana ilmu murni pada umumnya, yaitu bergerak dan menari demi
perkembangan sosiologi itu sendiri. Sebagai ilmu terapan, sosiologi mempuyai
andil besar untuk turut serta dalam proses pembangunan berkelanjutan, proses
pembuatan kebijakan, rekayasa sosial dan lain sebagainya melalui
rekomendasi-rekomendasi dari hasil-hasil kajiannya. Rekomendasi-rekomendasi ini
tentunya perlu melalui proses-proses penelitian sosial yang sangat ketat.
Sebuah korporasi misalnya, tanpa disadari institusi mereka dikepung oleh ribuan
buruh yang sedang berdemo, para pendemo dengan bringasnya merusak segala
infrastruktur korporasi tersebut. Apa yang terjadi pada korporasi tersebut
merupakan objek kajian sosiologis, yang dari penelitian-penelitian sosial yang
dilakukan oleh sosiologi, bisa memberikan suatu rekomendasi kepada direksi
korporasi tentang apa yang seharusnya dilakukan agar dapat meredam amarah para
karyawannya. Dan masih banyak lagi contoh sosiologi sebagai ilmu terapan.
Sebenarnya apa yang sudah menjadi
pemahaman para peminat sosiologi tentang bagaimana hakikat sosiologi sebagai
ilmu murni ataupun terapan ini, merupakan suatu pemahaman yang klasik terhadap
eksistensi sosiologi itu sendiri. Sosiologi secara de yure maupun de facto
sudah barang tentu dengan pemaham di atas bahwa ilmu yang didapat dari belajar
sosiologi ini akan melahirkan peneliti-peneliti sosial yang sangat berguna bagi
banyak instansi/korporasi, dan yang terpenting adalah bermanfaat bagi bangsa
dan negara. Dengan berbagai kemampuannya dalam memetakan realitas yang ada di
sekelilingnya, kemudian membuat alur-alur penelitian yang sangat ketat dan
sistematis, dan akhirnya akan memunculkan hasil-hasil penelitian yang dapat
memberikan solusi kepada permasalahan tertentu, jelas merupakan nilai lebih
yang didapat oleh insan yang mempelajari sosiologi ini.
Out
put sebagai seorang peneliti secara de
yure memang dimiliki oleh seorang mahasiswa sosiologi nantinya. Akan tetapi
yang perlu diperhatikan di sini, fakta dilapangan benar-benar menunjukkan bahwa
tidak semua alumni sosiologi menjadi peneliti, tidak semua alumni sosiologi
bisa menjadi seorang birokrat, tidak semua alumni sosiologi menjadi aktivis
LSM, tidak semua alumni sosiologi menjadi seorang teknokrat, dan lain sebagainya.
Yang intinya adalah ada beberapa alumni sosiologi yang sedikit berbeda jalan
kariernya dari kareir yang sejatinya menjadi track bagi seorang sosiolog.
Keberbedaan jalur sosiologi
sebenarnya dengan jalur-jalur yang lain bukanlah menjadi persoalan yang harus
diperdebatkan atau digunjingkan, bahkan bukan merupakan persoalan yang harus
dipandang secara sarkastis. Dan penyebutan hal tersebut sebagai persoalan
sebenarnya juga kurang cocok, karena hal tersebut bukanlah suatu persoalan.
Keberbedaan tersebut merupakan hal yang sangat fungsional dan semua mahasiswa yang
benar-benar terinternalisasi dalam hati dan sanubarinya nilai-nilai
ke-sosiologi-an, maka ia akan bisa hidup, ia akan bisa berada dalam tipe
masyarakat apapun, mulai masyarakat yang paling kiri, sampai pada masyarakat
yang paling kanan, mereka akan bisa hidup bersama, selaras, dan seimbang.
Ketika harus menjadi pegawai bank, seorang sosiolog bisa terlebur di dalamnya.
Ketika harus menjadi seorang birokrat, seorang sosiolog, bisa menyatu dengan lingkungan
sekitarnya, ketika harus menjadi seorang berandal pun, sosiolog bisa
menempatkan diri sebagai seorang sosiolog (sociologist
qua sociologist), yang mengerti dan memahami berbagai paradigma atau sudut
pandang dalam melihat masyarakat, dan bagaimana mengaplikasikan variasi
paradigma tersebut.
Hakikat sosiologi sebagai ilmu murni
sekaligus ilmu terapan merupakan suatu hal yang tidak ada toleransi lagi,
karena keberadaan kedua hakikat ini adalah tidak bisa tidak. Akan tetapi
diantara kedua hakikat tersebut, di dalamnya terdapat hakikat dari suatu
hakikat. Yaitu hakikat yang sifatnya lebih dalam, dan bisa dikatakan lebih
suci. Yaitu bahwa sosiologi lebih dari ilmu murni maupun ilmu terapan, akan
tetapi sosiologi adalah suatu nilai yang memberikan pelajaran kepada kita
bagaimana untuk hidup, bagaimana hidup dalam kelompok, bagaimana hidup dalam
masyarakat, bagaimana sosiologi ini benar-benar terinternalisasi dan
termanifestasi menjadi salah satu armada hidup.
Suatu contoh misalnya, beberapa
waktu lalu, ada berita mengejutkan bahwa ada seorang nenek tua miskin, dan
sangat kelaparan. Ia dengan sengaja mencuri dari sebuah korporasi hanya untuk
sesuap nasi. Dan ternyata dalam usahanya untuk mengisi perutnya yang sedang
kelaparan ini, nenek malang tersebut tertangkap dan di meja hijaukan. Terlepas
dari bagaimana akhir cerita tersebut, seorang sosiolog apapun profesinya,
seyogyanya bisa melihat realitas tersebut dari berbagai sudut pandang. Ada
banyak sudut pandang yang menjadi perhatian dari sosiologi ini, dan sudah
sangat mashur bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda.
Sosiolog bisa melihat dan menyatakan bahwa nenek terseut salah dan harus
dihukum karena mencuri. Akan tetapi sebagai seorang sosiolog, tidaklah hanya
menggunakan satu paradigma saja. Masih ada paradigma lain yang bisa digunakan.
Sosiolog, dengan paradigma yang lain, akan melihat dari sudut pandang yang
berbeda. Nenek tersebut memang salah jika dilihat dari satu paradigma di atas,
tapi ada hal-hal yang perlu dipahami lebih dalam kenapa nenek tersebut
sampai-sampainya mencuri, yaitu hal yang tidak terlihat atau tidak nampak, tapi
hal itu nyata adanya, dan inilah hal yang harus dipahami.
Contoh lain pun juga dapat
diketengahkan di sini. Malam keakraban misalnya, suatu ajang orientasi
mahasiswa baru prodi sosiologi. Setiap ajang-ajang seperti ini, tentunya sangat
membutuhkan kepanitiaan tertentu dalam melaksanakannya. Biasanya dua angkatan
di atas mahasiswa baru mendapatkan kesempatan untuk menjadi penyelenggara acara
tersebut. Ketika angkatan 2013 menjadi mahasiswa baru, angkatan 2011 lah yang
menjadi panitia, begitulah kira-kira budaya yang ada di Sosiologi Universitas
Airlangga. Setiap angkatan yang bertugas untuk menyelenggarakan acara MK ini,
dari tahun ke tahun selalu terdapat kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Dari
tahun ke tahun, selalu terdapat pro kontra di dalamnya. Dari tahun ke tahun
pun, selalu ada konflik internal yang terjadi terkait penyelenggaraan MK ini,
perbedaan pendapat selalu mengiringi proses penyelenggaraannya. Ada
kelompok-kelompok yang sangat pro dengan adanya MK ini. Ada juga
kelompok-kelompok yang pro pula tapi tidak sependapat dengan kelompok yang
pertama, ada kelompok yang benar-benar
kontra, sehingga apapun keinginan dari kelompok yang pro, benar-benar tidak di
gubrisnya, bahkan ada beberapa pihak yang sangat menentang kelompok pro.
Sebagai sosiolog atau calon sosiolog, yang kebetulan menjadi aktor dalam
kelompok-kelompok di atas, bisa memaksakan pendapatnya untuk dilaksanakan
bersama, bisa juga memahami realitas yang terjadi di kelompok yang lain, dan
lain sebagainya. Yang jelas seluruh pengetahuan, pemahaman, seluruh nilai-nilai
sosiologis yang sudah dipelajari, seyogyanya diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari oleh setiap insan sosiolog. Ajang MK (Malam Keakraban), dapat
dijadikan miniatur untuk benar-benar menjadi sosiolog yang bisa menempatkan
diri sebagai seorang sosiolog (sociologist
qua sociologist).
Kurang pantas kiranya jika seorang
sosiolog tidak berlaku sebagai seorang sosiolog. Kurang pantas kiranya jika
sosiolog menempatkan diri pada warna hitam maupun warna putih, karena ada yang
menyatakan bahwa sosiologi adalah abu-abu, tidak memandang hitam, dan tidak
memandang putih. Lantas apakah dengan nilai yang demikian bisa dijadikan
patokan seorang sosiolog untuk membenarkan hal yang dianggap salah oleh
khalayak? Abu-abu bukan berarti bebas untuk menjamah warna apapun, akan tetapi
abu-abu di atas bermakna bisa menempatkan diri se netral mungkin agar dapat
melihat realitas sebagaimana yang terlihat, yaitu apa adanya. Dengan menjadi
abu-abu, maka ia dapat melihat hitam, ia pun dapat melihat putih, bahkan
warna-warna yang lain.
Singkatnya, hakikat sosiologi
sebagai ilmu pengetahuan, adalah ada pada bagaimana nilai-nilai sosiologi ini
diterapkan atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, apapun warna
kehidupannya, bagaimanapun rasa kehidupannya. Apapun nanti karier yang dijalani
oleh mahasiswa sosiologi setelah lulus nantinya, nilai-nilai sosiologi yang
sudah dipelajari sekian tahun lamanya dapat diterapkan dalam bentuk kehidupan
yang bagaimanapun, dalam kondisi apapun. Apapun yang sudah dipelajari selama
kuliah di jurusan sosiologi, nilai-nilai tentang struktural fungsional,
nilai-nilai tentang teori konflik, nilai-nilai tentang teori-teori humanis,
kesemuanya bisa diterapkan pada diri lingkungan sosial dimana sosiolog nanti
hidup, dan tentunya pada diri sosiolog sendiri.
Kuliah Lapangan: Cerminan
Dinamisasi Masyarakat
Kuliah lapangan, merupakan makanan
dan minuman sehari-hari insan yang mengenyam pendidikan di Sosiologi Unair. Ada
kuliah lapangan perdana yang diberi nama oleh pendahulu kita dengan TIPSOS
(Tipologi Sosial), dilanjutkan dengan SOSDES (Sosiologi Pedesaan). Ada juga
Sosiologi Perkotaan, Metode Penelitian Kualitatif, Metode penelitian
Kuantitatif, Stratifikasi Sosial, Sosiologi Kependudukan, CSR, dan banyak
pekerjaan lapangan lainnya. Kata Lapangan sepertinya menjadi identitas
tersendiri bagi Sosiologi. Untuk masalah Lapangan, bisa dikata mahasiswa
sosiologi ahli dibidangnya. Mulai pengurusan perizinan, menyusun konsep,
membuat strategi dan taktik, manajemen kelompok, dan lain sebagainya. Kuliah
lapangan adalah entitas yang bernuansa seni, membutuhkan nalar dan daya seni
tersendiri. Artinya untuk memahami secara betul, meresapi segala sesuatu
terkait kuliah lapangan ini, perlu latihan berkali-kali layaknya seseorang yang
ingin mahir bermain seni, latihanlah yang menjadi bumbu utamanya.
Tipologi Sosial sebagai kuliah
lapangan perdana bagi mahasiswa sosiologi unair, menyuguhkan berbagai
pengalaman yang tiada tara rasanya. Setiap orang yang terlibat dalam kuliah
lapangan ini dapat merasakan detik demi detik pengalaman yang sangat berarti tersebut.
Awal pembentukan kelompok, menjadi pengalaman pertama di Tipologi Sosial ini.
Kelompok menjadi identitas tersendiri dalam sosiologi. Sebagai ilmu yang
mempelajari tentang masyarakat dan kelompok sosial, kelompok awal yang dibentuk
kala Tipologi Sosial merupakan miniatur yang dapat dipakai untuk belajar
memahami kelompok yang lebih besar. Paling tidak di sana setiap mahasiswa dapat
belajar untuk hidup secara berkelompok, hidup di tengah-tengah masyarakat.
Seperti apa yang tersirat dalam arti sosiologi itu sendiri, bahwa orang yang
mempelajari sosiologi, seakan-akan dituntut untuk bisa hidup dan beradaptasi
pada kelompok atau masyarakat macam apapun. Dan kelompok pada Tipologi Sosial
ini menjadi miniatur awal untuk belajar akan hal tersebut. Belajar hidup
berkelompok, hidup dalam masyarakat, belajar beradaptasi, belajar me-manage konflik yang terjadi dalam
kelompok, belajar me-resolusi jikala
ada konflik yang berpotensi merusak, belajar menghargai orang lain sebagai
salah satu identitas seorang sosiolog nantinya, dan belajar-belajar yang
lainnya. Yang intinya pengalaman adalah guru yang paling berharga dalam
perjalanan hidup setiap orang, dan melalui Tipologi Sosial itulah setiap
mahasiswa belajar berkelompok melalui suatu pengalaman.
Setelah Tipologi Sosial, mahasiswa
kemudian dihadapkan dengan kuliah lapangan selanjutnya yang berjudulkan
Sosiologi Pedesaan. Tidak hanya Sosiologi Pedesaan, kuliah lapangan pun menjadi
identitas dari beberapa matakuliah di hampir setiap semester di Sosiologi.
Hampir setiap semester rasanya kurang pas jika Sosiologi tidak menyelenggarakan
kuliah lapangan. Dan berkelompok menjadi ciri khas tersendiri dari kuliah
lapangan Sosiologi. Kenapa harus berkelompok? Sebagaimana yang sedikit
disinggung di atas, bahwa setiap tugas yang dikerjakan secara kelompok,
terlebih lagi tugas yang mengatasnamakan kuliah lapangan, merupakan cerminan
atau miniatur dari masyarakat yang lebih besar. Di setiap masyarakat, apapun
itu, tidak akan pernah terlepas dari yang namanya dinamika. Setiap orang mempunyai
kapasitas masing-masing, setiap orang mempunyai intelegensia, sikap mental,
persepsi, nilai yang dianut, pengalaman, pemahaman yang berbeda-beda.
Keberbedaan pemahaman dan lain sebagainya tersebut tidak jarang akan
menimbulkan suatu gesekan atau persinggungan tersendiri. Mengutip apa yang
menjadi buah dari pemikiran seorang filusuf Thomas Hobbes bahwa “homo momini lupus”, manusia adalah
srigala bagi sesamanya, keadaan ini nantinya akan mendorong adanya “bellum omnium contra omnes” perang
semua melawan semua. Sudah wajar kiranya dalam kelompok terdapat suatu
perselisihan, karena selain sebagai wujud dari perbedaan setiap anggotanya,
pertikaian tersebut sepertinya merupakan salah satu wujud dari adanya manusia
itu sendiri. Oleh karena itulah setiap orang dituntut untuk bisa beradaptasi
dengan situasi macam apapun, akan tetapi tidak semua orang dapat melakukannya.
Dan di Sosiologi, melalui kelompok-kelompok semacam itu misalnya setiap
mahasiswa diajari secara tidak langsung mengenai bagaimana hidup di dalam
masyarakat nantinya. Karena itulah dapat dikatakan bahwa kuliah lapangan
melalui tugas-tugas kelompoknya merupakan cerminan dari masyarakat yang lebih
besar.
Selain itu, sebagai seorang sosiolog
minimal harus memprektekkan apa-apa pengetahuan yang telah didapatkan dalam
kuliah, di kehidupan sehari-harinya. Nilai plus yang dimiliki oleh mahasiswa
sosiologi selain belajar mengenai hard skill,
soft skill dan life skill dalam kuliah lapangan, mereka juga bisa mempraktekkan
segala teori-teori sosial yang telah dipelajarinya dalam kelompok-kelompok
semacam itu, kelompok kuliah lapangan misalnya. Kelompok-kelompok yang semacam
itulah, atau dalam moment-moment apapun yang di dalamnya terdapat dinamisasi
layaknya dinamisasi yang terjadi di masyarakat, dapat digunakan sebagai ajang
untuk mempraktekkan ilmu yang telah didapat. Teori-teori yang telah dipelajari
sedemikian rupa dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk mengkaji
kelompok-kelompok kecil yang ada di sekelilingnya, terlebih analisa tersebut
dapat membuahkan hasil sehingga dapat diketemukan solusi pemecahannya. Inilah kenapa
kita harus patut untuk bersyukur bisa dibesarkan di Sosiologi.